FAKRI
AKU MENGGARUK DAGUKU. Pangkal janggut terasa kasap, menyebar dari bawah bibir sampai rahang bawah. “Kudu mulai dari mana ini?” tanyaku, menekuri pikiran sejenak. “Seenggaknya kita tau kalau urusan Pak Robin agak mendadak.”
Haina mengedipkan mata lebarnya beberapa kali, masih dalam posisi rebahan. Tak sopan. “Haina tau kalo Pak Robin buru-buru, tapi kalau soal mendadak .... Ambil kesimpulan dari mana?”
“Kau sendiri yang bilang, kan? Pak Robin mirip Profesor Lupin.”
“Hmm? Iya ... Haina kira. Pak Robin kalau ngajar selalu siapin materinya mateng-mateng, kan?”
Aku mengangguk setuju. “Jadi, kalau urusannya emang udah direncanain, apa yang bakal dia lakuin?” Aku menunjuk sepiker di sudut kelas.
“Apa?”
“Sepiker.”
“Kenapa sama sepiker?”
Aku menghela. “Biasanya, kalo gak bisa hadir, guru gak repot-repot datang ke kelas dulu. Tinggal titipin tugasnya ke guru piket, panggil KM lewat PA[1], suruh dia sampein tugasnya ke murid lain, beres.”
Haina menyipit, melempar pandangan sangsi. “Ini jam pelajaran kedua, loh, Al.”
“Terus?”
“Di jam pelajaran pertama, Pak Robin ngajar di IPA 3,” Haina bertutur. “Kalau dia mau kasih tugas ke kelas kita, lebih gampang datang ke sini langsung ketimbang dititipin ke guru piket.” Si Toge mengedikkan dagu ke depan. “IPA 3 jauhnya gak selemparan batu pun.”
Aku berjengit. “Gimana bisa kau tau jadwal ngajar Pak Robin?” Entah kenapa ... ngeri juga dengarnya.
“Temen.”
“Di kelas lain?”
“Kenapa kamu macam yang curiga begitu?” Satu alis Haina terangkat, tersinggung. “Kamu pun punya, kan, temen di kelas lain? Zakir pun dari kelas lain, kan? Kak Alfan juga—senior malah.”
Sebentar. Zakir masih bisa ditolerir, tapi bagaimana kau tahu soal Bocah Sableng? Ngeri, eh! “Uh ... aku punya alasan kedua.” Mari lupakan dulu soal itu. Mari kembali ke topik utama. “Waktu Pak Robin kasih tugas, dia dua kali buka buku. Pertama paket, terus LKS. Dia gak punya persiapan. Dia mendadak buat tugas begitu datang ke kelas ini. Urusannya jelas dadakan dan di luar rencana.”
Tapi kenapa pilih buku LKS? Bukannya buku paket juga sudah cukup? Aku ingin protes. Kalau semua pelajaran macam ini, itu artinya cuma ada dua pilihan buatku: beli buku atau sebangku dengan Haina. Jelas keduanya buat bulu kuduk merinding.
“Hm, hm ... Haina rasa kamu gak salah.” Haina menegakkan punggung, tangan menyapu rambutnya yang tergerai. Untuk sesaat, aku bisa melihat telinga dan leher putih si gadis. Pemandangan yang buat mata pedih. “Kira-kira urusan apaan .... Al? Kenapa? Kelilipan?”
Aku mengucek mataku. “Urusan apa?” Aku berdeham. “Kalau Pak Robin yang kalem sampai jadi heboh begitu, pastinya urusan penting. Penting banget, malah.” Dia sempat mendengus jengkel juga, soalnya.
“Tapi?” desak Haina, cemberut. Kelihatannya dia tak suka dengan gagasan urusan penting.
Buru-buru aku menaikkan tangan, melindungi wajah tersayangku dari serangan. “Nah ... kurasa ... urusannya emang penting, tapi gak sampai nyangkut nyawa orang,” tambahku buru-buru. “Kalau semisal nyangkut nyawa orang ... katakan: ibunya meninggal”—kuraih tangan Haina yang mendadak menyerang macam ular kobra—“misal itu! Aku bilang misal! Kalau semisal memang gitu, Pak Robin gak bakal nyempetin buat mampir ke sini.”
“Oke. Kamu bener. Kalau Haina dapat berita macam itu, pasti Haina udah langsung pergi—mau di tengah pelajaran pun.” Puas dengan jawabanku, si Toge menarik kembali tangannya. “Ngomong-ngomong, ini sakit, ih!”
“Aku pegangnya pelan pun ...,” kata-kataku meredup. Tampak warna merah yang membekas di kulit si gadis, noda melingkar di lengan rampingnya. “A-ah ....” Tak macam kakakku, tubuh Haina rupanya lebih rapuh dari yang kukira. Cukup rapuh sampai-sampai aku takut buat menyentuhnya lagi. “Maaf?” Kenapa aku mesti minta maaf, ngomong-ngomong? Dia yang cari gara-gara duluan, kan?
“Emm ... okelah, oke. Haina maafkan. Jangan sekali-sekali lagi, tapinya? Paham?”
Kenapa bicaranya pakai nada pongah begitu? Lagian, apanya yang “jangan sekali-sekali lagi”? Kalau kau serang aku lagi, aku mesti diam saja? Begitu? Apa kau masih manusia? Apa kau memang pernah jadi manusia?
“Jadi?” Haina menelengkan kepala, jari menyentuh pipi. “Urusan Pak Robin datang mendadak. Urusannya betul-betul penting, tapi gak sampe berhubungan sama nyawa orang. Begitu?”
“Iya. Begitu.”
“Terus? Urusan apa itu?”
Mana aku tahu, lah! Bawel! “Urusan sekolah ... kali? Macam ada wartawan yang pengen porot aib sekolah ... semacamnya?”
“Al,” Haina memicing kecut, “Haina yang salah inget atau yang jadi perwakilan siswa baru di MOPD itu emang kamu?” Dia kemudian menambahkan, “Ka-kamu ikut MOPD, kan?”
“Yang barusan itu ngeledek? Ya iyalah aku ikut. Yang gak ikut kena denda 50 ribu per hari, kan? Mana bisa aku mewah-mewah begitu. Aku dinistakan dan direndah-rendahkan oleh kakak kelas macam kalian.”
“Tapi ... di sana, kan, ada acara pengenalan, tuh. Guru, staf, pegawai TU, sama struktur pimpinan sekolah.”
“Rasa-rasa ... memang ada.”
“Kamu itu, kan, siswa peringkat pertama seangkatan. Masa gak inget: Pak Robin cuma pegang pelajaran fisika. Beliau bukan pejabat administratif.”
“Mana aku tau, lah!” Kurang kerjaan banget menghafal nama-nama guru sama jabatannya! Keluar di ujian kagak!
Haina mengernyit, mata berkedip-kedip pelan, wajah bengong macam kena sihir. “Kamu ... kamu Al-Fakri, kan? Yang konon nilai testing masuknya sempurna, kan?”
“Apanya yang ‘konon’! Apanya! Gak sopan.”
“Terus, kenapa bisa sampe gak tau?”
“Normalnya begitu, Neng!”
“Tapi Haina inget, kok.”
“Itu artinya, Toge sayang, kamu enggak normal,” kataku ... dalam hati. Kode gen dalam kromosom Y-ku manalah izinkan aku buat bilang begitu pada Haina. Dia terlalu manis. Aku benci gadis manis, sialan! “Oke, oke,” timpalku akhirnya. “Hematnya, Pak Robin cuma guru biasa?”
Haina mengangguk. “Jadi, dia gak punya kewajiban buat sambut tamu atau semacamnya.”
Aku menggaruk kepalaku. “Ah! Itu! Kali ada murid bimbingannya yang kena kecelakaan!” seruku, meneriakkan hal mengerikan barusan dengan nada cerah penuh kegembiraan.
“Pak Robin enggak jadi wali kelas mana pun. Itu ada di papan jadwal. Lagian ....” Haina angkat tangan, bersiap menyodok wajahku. Nyaris saja aku menangkisnya—tapi begitu ingat kejadian sebelumnya, aku mengurungkan niat. Alhasil, kubiarkan wajahku kena tampol. “Jangan ngomong hal buruk macam begitu! Bawa sial, tau gak?”
Sakit—di wajah maupun di hati. “Mesti gimana lagi, coba? Kalau kau mau cari kebenaran, jangan pake bawa-bawa pandangan subjektif! Nanti malah kesimpulan yang cari fakta, bukan sebaliknya.”
“Tapi Haina gak suka!”
“Aku harap seribu dikurangi seribu hasilnya dua ribu, jadi uangku gak bakal habis-habis—tapi mustahil begitu, kan? Ini bukan urusan suka gak—”