FAKRI
AKU KELUAR DARI RUANG BK dengan keputusasaan seorang terpidana mati. Ibuku menyusul tak lama kemudian, berjalan berdampingan dengan dua wanita lain—Jaket Adidas dan Bu Lirla. Ibu kembali membungkuk, kembali terbatuk, kembali minta maaf pada Bu Lirla soal ulah nakalku. Guru BK-ku pasang senyum ramahnya selebar mungkin. Gadis muda yang baru lulus beberapa tahun kemarin, dia ini. Konon senyum manisnya mampu membuat anak nakal terkena guncangan spiritual hingga jiwanya melesat ke jagat kosmik untuk menyatu dengan semesta dan dimurnikan kembali.
Sayangnya, aku memang anak saleh dari sananya. Aku tak salah apa-apa. Jadi, maaf-maaf saja kalau perangaiku tak mau berubah barang setahi kuku pun.
Jaket Adidas menggosok rambutku kasar, kening mengernyit. “Gak kasihan apa sama ibu kamu? Sampe mesti datang ke sekolah segala.”
Aku menjawab lewat sela gigi, menahan diri buat tak meraung, “Aku gak salah apa-apa.”
Bu Lirla melirikku dan cemberut. “Fakri? Kamu mesti minta maaf ke Pak Edhan. Ibu temenin kalau kamu takut.”
Takut? Dia kira aku takut dengan si guru bangsat yang senang porot duit ibuku? “Gak. Makasih.”
“Fakri!”
Ibuku cuma menghela napas dan menggeleng. “Bu Inaya? Salut Ibu enggak pusing ngurus anak saya.”
“Oh, saya emang pusing, Bu,” timpal Bu Inaya sambil berkerung. “Tapi ‘dah biasa. Tahun kemarin pernah ngewaliin murid yang sebelas-dua belas sama Fakri, jadi enggak terlalu kaget, lah. Iya, kan, Kri? Kita sobat, kan?”
Jangan samakan aku dengan si Alfan Esmand! Dia orang sableng! Dan apanya yang sobat! Kau guruku!
Ibuku memijat keningnya yang kini lepas dari koyok. Aku masih bisa mencium bau menyengat balsem, tapinya. “Anterin aku ke gerbang,” pintanya. Aku bergegas mendempetnya, entah kenapa takut kalau wanita tua itu hendak pingsan. Ibuku belum tua! Dia baru empat puluh!
“Kenapa enggak bilang?” tanyanya kala kami menyusuri lorong. Sejumlah siswa sudah keluar kendati masih ada waktu sebelum bel istirahat berbunyi, seluruh mata melirik ibuku. Ingin balas kupelototi mereka, tapi ibuku berhenti di tempat dan menyilangkan tangan, mendesak jawaban.
“Bah. Bukan masalah gede,” timpalku secepat yang aku bisa. Ini sulit. Amat sulit. Aku benci melihat ibuku kesusahan.
“Kamu dipanggil ke BK.”
“Lagi,” lengkapku.
“Lagi,” akunya.
Detailnya, aku sudah keluar-masuk BK sejak dua minggu yang lalu gara-gara kasus si Edhan. Bajingan bangsat dia. Main belakang. Seolah mundur damai, tapi aslinya mengadu macam bocah perempuan. Aku berhasil berkelit untuk beberapa hari. Pengalamanku tentang seluk-beluk konseling itu tinggi tiada tanding. Sayangnya, aku dibokong. Seseorang mengirim surat panggilan pada ibuku—lewat punggungku. Tahu-tahu namaku dipanggil lewat sepiker dan Ibu muncul di sekolah.
“Kamu gak seharusnya ngelecehin guru kamu, Kri,” keluh ibuku. Sudah berapa kali aku dengar pidato ini dari Bu Lirla? Belasan?
“Cuma nulis jawaban, doang,” kilahku. Jawaban standar. “Angkanya emang agak kegedean, tapi tulisan orang beda-beda, kan?”
“Tulisanmu kecil macam mikroba.”
“Itu tulisan di buku. Aslinya gede-gede.”
Ibu mengangkat tangan. Aku sempat mengira hendak dijitak dan bergegas memejamkan mata. Aku tak pernah kabur dari pukulan ibuku. Tak bisa dan tak mau. Sayangnya, dia memberiku jenis serangan yang lebih kejam: sebuah tepukan lembut di bahu. “Cuma buku, Kri. Aku bakal kasih, kok, kalau kamu minta! Aku yang minta kamu sekolah, kan? Aku bakal tanggung jawab.”
Sampah. Aku ingin menangis. Asli sampah. Tak tahulah apa yang hendak aku tangisi. Aku memang selalu merasa tak berdaya di dekat ibuku. Tak berguna. Tak bisa apa-apa. Aku ingin membunuh sesuatu. Benakku segera bekerja: aku memegang pisau, aku membacok si Edhan, merobek perutnya, menarik ususnya, meletuskan lambungnya. Amarahku lepas seketika.
“Buku gak guna,” sahutku lebih santai. “Ibu sendiri yang suruh aku cari masalah, kan?” Masalah yang bisa bunuh si bocah dan hidupkan si pria?
“Aku juga suruh kamu makan,” kelit ibuku cepat. “Tapi enggak sampe makan tai ayam juga.”
Nah, itu. Tololnya aku. Memang dari mana pula aku dapat bakatku buat memelintir logika?
“Berapa?” tanya ibuku.
Wajahku memanas oleh amarah. “Gak usah. Itu buku asli gak guna, Bu. Cuman akal bulus si Edhan doang.”
“Dia guru kamu.”
“Oh, iya. Guru—bukan Tuhan.”
Ibuku menggulirkan bola matanya di balik lensa. “Aku pengen ketemu De Haina.”
Aku membungkuk buat menggaruk betisku, menggerutu sejenak, bangkit, dan—“Gimana?”
“De Haina. Mumpung aku di sini.”
“Ngapain!”
Ibuku angkat bahu. “Hiburan?”
Enteng banget ini emak-emak kalau ngomong! “Gak bisa. Orang pada belajar pun.” Ini adalah jawaban yang paling bisa diterima ibuku. Kucoba lawan dia, dan si Kaisah bakal terbang sendiri ke kelasku. “Jangan gangguin—”
Bel istirahat berbunyi. Pintu kelas membludak terbuka, memuntahkan aliran anak manusia yang penuh hormon ke alam bebas. Ibuku menengadah menatapku, alisnya naik-turun. Ampas setan.
“Gak,” tegasku, suara serak.
“Kenapa?”
“Malu?”
Ibuku tergelak. “Bukannya itu barang udah dikasih ke pegadaian?”
“Mau apaan, sih! Jangan aneh-aneh!”
Ibu pasang wajah terguncang. Lihat dia. Berani bertaruh: andai dia ikut audisi bintang sinetron, ibuku bakal lulus sebagai pemeran mertua resek. “Kamu enggak mau nyenengin ibu kamu sendiri?”
“Ayo minta maaf ke Pak Edhan,” bujukku. “Itu yang Ibu mau, kan?”
Ibu kian terbelalak, wajah memucat habis-habisan. “Dua minggu kamu ngebengal nolak minta maaf, tapi sekarang .... Gak, Fakri. Aku jadi malah makin kepengen liat De Haina jadinya.”
Sejenak, aku dan ibuku main diam-diaman. Aku menghela napas dan merentangkan tangan. “Bunuh aku, Bu. Bunuh!”
Ibu mendengus geli, senyum terpasang di bibir tipis. Sejenak, aku bisa melihat Kaisah kembali muda—gadis umur tujuh belas, mungil dan manis, tapi dengan mata dan akal setajam belati. “Ampun, Fakri. Kamu macem ayah kamu banget.” Ibu geleng-geleng. “Tau kamu pengen aku bahagia. Kamu anak nakal, tapi gak pernah lupain aku. Kamu tau bakal gimana bahagianya aku kalau bisa ketemu De Haina?”
“Itu licik, Bu.”
“Jadi?”
Kata orang, mustahil untuk menyesal sebelum bertindak. Jelas kata orang memang tak bisa dipercaya. “Kita pindah tempat dulu.”
EZAR TEPUK BAHUKU, satu pipi pucatnya hitam oleh serbuk pensil. “Sob.” Aku mengangguk. “BK lagi?” lanjutnya. Aku mengangguk. “Bengal macam biasa?” Anggukan lagi. “Bangsat.”
Bang Nabhan berputar di kursinya. “Ketemu Bu Lirla?” Mata si bocah sedikit berkilat. Dasar otak mesum.
“Plus Jaket Adidas.”
Si Abang manyun. “Sia-sia, dong.”
“Apanya?”
“Enggak bisa berduaan sama Bu Lirla. Dikau panjangin kasus Pak Edhan cuma buat itu, kan?”
“Kata siapa?”
“Kata orang.”
Kata orang. Lagi. Memang tak bisa dipercaya. Bingung publik lihat aku bagaimana. Seorang bocah cabul sialan tukang cari perhatian yang naksir wanita senior berbodi aduhai? Macamnya aku agak meremehkan kekuatan imajinasi publik. Setidaknya para pengarang bertanggung jawab atas tulisan mereka masing-masing.
Kenyataannya, aku lebih sering diurus Jaket Adidas ketimbang Bu Lirla. Menjadi guru olahraga membuatnya cukup kurang kerjaan. Seluruh waktu luang itu dia dedikasikan untuk mengomeliku dan si Bocah Sableng. Pernah sekali aku dan si dukun Fortema diajak dia lari keliling kota. Balik ke sekolah aku langsung muntah gara-gara kecapaian.
Seseorang menusuk pinggangku dan buatku mengerjat. Haina muncul, tangan menodong pensil mekaniknya. “Hei! Jangan dipuji, tau!” sungutnya pada dua temanku. “Nanti malah makin ngelunjak!”
“Aku malah mikir sebaliknya,” timbrung KM di kursinya depan Ezar. “Si Fakri ini jenis orang yang makin dilarang malah makin ngejadi. Amit-amit, deh.”
Ingin aku merepet tajam pada dua makhluk bermulut nista ini, tapi apa daya, aku harus menahannya. Aku menghela napas dan berbalik menghadap Haina. “Na?”
Si gadis mengangkat satu alisnya, kepala terteleng. “Iya, Al?”
“Sini bentar.”
Haina malah menjauh. Toge! “Jangan usil!”
Sabar, Kri. Sabar. “Ada yang aku pengen kasih tau.”
“Al ngibul.”
“Kagak.”
“Kalau mau bicara, ya tinggal.” Haina menegakkan punggung dan melipat tangan, tapi wajahnya masih pula harus mendongak buat menatapku. “Enggak usah pakai bisik-bisik.”
Oh ... kau ... toge ... sepat! “Aku ....” Aku benar-benar hendak mengatakan ini? Seriusan? Aku? Al-Fakri putra Kaisah? “....” Sebentar. Kenapa tak ada suara yang keluar? Mulutku sudah bergerak, ini! Ah ... ah ... ah! Rusak sudah reputasiku. Rusak sudah! Bangsat!