Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #40

Selingan 2

HAINA

“MASIH ADA?” TANYA YUSIK—atau tanyaku kalau dilihat dari mata orang.

“Masih,” timpalku, badan berjinjit untuk mengintip lewat jendela kelas. “Lagi nulis ... sesuatu.”

“Surat cinta?”

Aku terdiam sejenak. “Bukan.”

“Yakin?”

“Apaan, sih! Al bukan orang yang nulis begituan.”

“Ayo masuk, dong! Aku pengen nonton film juga! Percuma kalau kita cuma ngintip doang mah.”

Aku menghela napas dan membuka pintu. Tidak ada orang di kelas kecuali Al—sejam sudah lewat semenjak bel pulang berbunyi. Al memang suka begitu, biasanya mengerjakan tugas, tapi aku tak ingat tadi ada guru yang kasih kami tugas.

Al mengangkat wajahnya dan seketika memberengut. “Mana dasiku?”

“Salam dulu, kek!” Aku bergegas menghampirinya dan duduk di kursi Gina. “Nulis apaan, Al?”

“Ini udah tujuh minggu, asal kau tau. Kalau kau ‘dah bosen sama ocehanku, aku apalagi.”

Aku menghela napas. “Besok Haina bawa, deh.”

“Pun begitu katamu kemarin.”

“Al cerewet, ih.” Aku meraih celengan babi di meja Al dan membelainya. Lucu. Al nyaris selalu bawa-bawa celengan ini ke sekolah, menggosoknya dan mengelapnya serupa vas antik kesayangan. “Siapa namanya?”

“Cukong.”

Aku mengerjap sejenak sementara Yusik tergelak-gelak. “Dia ... punya nama?”

“Kau sendiri yang tanya!” sergah Al jengkel, kemudian lanjut menulis di bukunya.

“Haina tadinya cuma becanda ....” Cukong? Cukong ... bandar? Memang Al banget, aku rasa. Aku merogoh saku rokku, mencari uang receh untuk dimasukan ke celengan. “Cukong mau makan? Ini Haina kasih makan. Aaam ....”

Gila.

Hus! Diem kamu!

Al kembali mendongak, senyum samar muncul di bibirnya. Aku balik nyengir dan memiringkan wajah. “Gimana rasanya, Cukong?”

Aku sempat kira Al juga bakal panggil aku gila, tapi tidak. “Cukong bilang dia suka Haina.”

Mau tak mau aku tertawa juga. “Gimana sama yang punyanya?”

“Fakri bilang dia benci Haina.”

“Jelek.” Aku mengernyit, melipat tangan di meja dan menjatuhkan wajah di sana. Tampak wajah Al yang muram, mata berkantung mengerjap lambat, poni kaku mencuat tiada aturan. “Kenapa enggak ikut yang lain buat nonton, Al? Ezar sama Bang Nabhan juga ikut, kan?”

“Hmm. Misterius, emang.” Sarkastis. Tak mengejutkan lagi.

“Haina gak pernah liat kamu main sepulang sekolah, Al. Kalau enggak ada ekskul atau tugas, pasti langsung pulang.”

Al mengernyit, membungkuk dan lanjut menulis kian cepat. “Jangan ganggu, ah. Minggat sana.”

“Kamu disebut sombong ama anak-anak kelas, loh.”

Al menghela nyaring, kaki melompat-lompat di bawah meja. Mulai tak sabar. Tanda-tanda kebuasan muncul di wajahnya. Anehnya, aku malah kian semangat. “Mereka bilang mentang-mentang dapet beasiswa, gaulnya enggak boleh sama orang biasa.”

Kepala Al menyentak naik, pensil di tangan menusuk kuat kertas. Intuisiku bilang kalau aku sudah kelewatan, bilang aku harus kabur, tapi aku menahan diri di posisi. Jantungku berdetak keras dan badanku panas. Tuhan. Perasaan apa ini?

Gila, celetuk Yusik. Itu perasaan jadi orang gila.

“Siapa yang bilang?” tanya Al.

“Gimana?”

“Siapa yang bilang aku dapet beasiswa?”

Takut ada korban yang jatuh, aku memutuskan untuk tak bilang kalau itu Asfi—Wakil KM. “Emang ... salah?”

“Siapa?” tegas Al sekali lagi.

“Gak, gak, Al. Haina gak mau kamu pukul anak orang. Kasihan Bibi Kaisah nanti kalau mesti ke BK lagi.”

Al mendengus. “Gak, Na. Cuma pengen bilang makasih udah repot-repot kasih aku doa.” Al kembali ke bukunya dan mengumpat habis-habisan begitu lihat lubang di kertas. Sungguh mulut yang kotor tiada ampun.

Si Uno Wheel of Time.

Nah, persis dia, De.

Lihat selengkapnya