FAKRI
ZAKIR TERGELAK SAMPAI terbungkuk-bungkuk, kacamata terkatung-katung, nyaris jatuh—kuharap jatuh. Di sampingnya, si adik berjongkok, tangan menangkup wajah, bahu berguncang. Tidak. Dia tak menangis. Dia tertawa lebih parah dan sekarang perutnya sedang kesakitan.
“Kalian dua bersaudara emang gak ada nurani-nuraninya,” aku protes, mengusap empat garis luka cakar di pipi. Sakitnya macam tahi anjing. “Teman kena sial malah dijadiin bahan hiburan.”
“Hauh ... hauh ...,” Hau-Hau coba menghentikan tawa, mirip-mirip orang melahirkan suaranya. Mungkin gara-gara itu dia dipanggil Hau-Hau. “Kak ... Kak ... ba-bantu ....” Dengan mata basah, Hau-Hau angkat tangan.
Zakir tarik adiknya supaya berdiri, jadi kutendang dia tepat di lutut. Keduanya jatuh di aspal sementara aku beranjak minggat. Beberapa siswi SMP asing lewat, melirikku penuh kecurigaan. “Apa liat-liat!” aku menggeram, dan mereka pun menjerit, lari lintang pukang. Lama-lama namaku melegenda juga di kalangan SMP.
Aku bergerak layaknya banteng ngamuk. Memacu langkah mantap dan bergegas penuh tekad, berjalan lurus menembus apa pun yang menghadang. Sekarang ini, tak ada yang mampu menghentikan lajuku. Tidak ibuku, tidak kakakku, tidak juga si Toge Kecil. Tidak siapa pun ....
BEGITU AKU MELEWATI GERBANG, satpam sekolah datang menghadang. Aku coba menyeruduknya bak banteng perkasa, tapi dia malah menjewerku, menyeretku, menjebloskanku ke ruang BK. Pada akhirnya ... aku dihentikan dengan begitu mudahnya.
“Habis culik siapa lagi kamu?” celetuk Bu Inaya, kelingking menggaruk lubang telinga.
Aku tercengang. “Kenapa ... ‘lagi’?”
“Apa Haina aja gak bisa puaskan nafsu bejat kamu?”
Aku super tercengang. “Kenapa ... ‘Haina’?”
“Jangan coba-coba tipu aku.” Si guru tomboi menunjuk-nunjuk pipinya. “Itu berkas perlawanan korbanmu, kan? Aku yakin kita bakal temuin DNA-mu di bawah kuku mayat si gadis malang.”
“Kau guru-guru kalo ngebacot seenak udel banget. Lagian kita lagi ngomongin apa, sih?”
“Antara penjara seumur hidup dan tembak mati, kan?”
“Udah main jadi terdakwa aja!” Aku meringis tatkala pipiku tertarik. “Dengar, ya, Bu. Ini salah paham. Aku gak tau apa yang itu satpam bilang, tapi luka ini bukan bekas gelut”—aku menjilat bibir, meralat—“ini memang bekas gelut, tapi sama kakakku.”
Alis Ibu Inaya naik. “Kakakmu itu kucing?”
“Yah ... satu genus, lah.”
“Jangan coba tipu-tipu aku! Masa kucing saudaraan sama setan!”
“Ini cuma aku yang salah tangkap atau Ibu emang sebut aku setan?”
“Okeh .... Okeh, okeh. Sekarang anggep aja aku kena tipu dan percaya soal omong kosong kamu—”
“Kau gak ketipu! Omong kosong dari Hongkong!”
“—tapi apa alasannya? Ngapain juga kamu masih gelut sama kakak kamu itu? Kau udah SMA, kan? Perebutan pacar?”
Aku menurunkan bahu, tangan merayap ke arah baki penuh kue-kue kecil kepunyaan Bu Lirla. Jaket Adidas menggaploknya tiada ampun. “Kakakku perempuan pun.” Aku menggosok-gosok punggung tangan, merah dan berdenyut.
“Kamu ... ribut ... sama ... perempuan?” si guru mengeja kata demi kata dengan penuh kesan horor. “Kamu ... waras?”
“Secara teknis, apa yang aku hadapi itu memang betina, tapi dari spesies apa, masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Ada dugaan kalau dia bukan makhluk bumi.”
“Kasar betul.”
“Dia colong martabakku, Bu!”
“Martabak!”
“Martabak Holand! Ibu tau? Yang jualan dekat Pasar Ikan itu!” Aku menggebrak meja, merasakan kejengkelanku membludak sekali lagi. “Ibuku beli itu martabak gak sampai sebulan sekali! Terus si Nita sialan makan itu sepotong kecil punyaku tanpa tau malu!”
“Gara-gara itu ... kamu berantem?”
“Aku coba kasih pelajaran itu makhluk barbar—tapi dia kelewat buas. Malah aku yang kena cakar.”
“Ikatan persaudaraan yang sungguh mengerikan.” Bu Inaya menggeleng. “Emang buku apa aja, sih, yang biasa kamu baca? Kamu sering baca buku, kan? Pasti bukan buku bermutu. Gak ada amanatnya. Ingat! ‘Dirimu adalah apa yang kamu baca.’”
Aku melotot, nyaris kejang-kejang. “Jangan asal ngelantur! Buku gak perlu punya amanat supaya jadi bermutu! Lagian, apaan itu amanat? Salah satu unsur intrinsik cerita? Mengada-ngada. Cerita bisa berdiri tanpa—”
“Nih.” Si guru melempariku sebuah buku.
Buru-buru aku melompat, menangkapnya, memeluknya dengan protektif. Bagaimana mungkin seorang guru remeh seperti dia bisa tak hormat begitu pada guru terbesar dunia? “Paulo Coelho ....” aku membaca bagian punggung buku.
“Kenal sama dia?”
“Bukan tetangga sebelahku, yang pasti.” Aku membalik, membaca bagian mukanya yang sudah kusut dan kumal. Sang Alkemis. “Mesti diapain, nih?”
“Baca.”
“Udah.” Bagaimana mungkin aku tahu Paulo Coelho tanpa pernah baca karyanya yang paling populer?
“Baca ulang kalau gitu. Kali saja watakmu bisa berubah yah ... semili dua mili.”
Semili dua mili mana ada pengaruhnya. Dan aku benci buku ini, ngomong-ngomong.
“Tau sobatmu ada di mana?”
“Sobatku?” Zakir? Bagaimana dia tahu soal Zakir? Apa hubungan kami sebegitu terkenal? Bikin merinding saja.