FAKRI
ZAKIR MENATAP JENGKEL ke arahku. “Ngapain situ ke sini?”
Di sisa jam istirahat itu, aku kabur ke kelas IPA 3 dan duduk bersila di meja Zakir. Tangan memangku buku sejarah, bahu membungkuk, mata menyapu tulisan. Aku membaca, mestinya begitu, tapi tak satu huruf pun yang bisa tecerna oleh otakku.
Wajah si Toge muncul. Pipi merona merah, mata basah berkaca-kaca. Aku mengerang, buat Zakir berjengit, menatap dengan sinis seolah-olah aku ini sudah sinting. Asem. Bayangan terkutuknya terus-terusan muncul di benakku.
“Oh, iya. Zakir. Belum seminggu kemarin Hau-Hau ada ngomong sama aku. Soal pacarnya. Gak taulah kenapa dia curhat padaku soal begituan, tapi sebagai ‘abang’, ya aku dengerin pula.”
Wajah si Zakir berubah masam, alis berkedut-kedut, keringat di pelipis.
“Dia cerita kalau si pacar agak-agak jengkel berhubung Hau-Hau digosipin punya hubungan sama guru muda di sana. Rumor sinting. Kecuali kau ini Zakir Bakhtiar putra Lela, orang dewasa mana mungkin embat anak SMP. Jadi, Hau-Hau suruh aku buat temuin itu biang kerok tukang sebar gosip dan kasih dia beberapa jotosan .... Zakir? Apa kabar?”
“Kau paling ngejengkelin kalo ‘dah begini.”
“Aku serius.”
“Omong kosong!”
Aku menatap Zakir. Kukira menonton orang lain menderita bisa sedikit menghiburku, tapi rupanya terasa hambar-hambar saja. Sia-sia sudah aku membocorkan rahasia Hau-Hau. Zakir tak pernah suka akan gagasan adik manisnya hendak dicuri orang. Aneh. Aku sendiri selalu berdoa akan kemunculan seorang laki-laki garang yang akan menculik kakak tak bergunaku itu dari rumah. Dalam artian baik, tentu saja.
“Kri?” Zakir menunjuk tenggorokannya. “Mana dasi?”
Kenapa semua orang selalu bertanya soal dasi? Memang apa gunanya dasi selain buat menyusut ingus? Aku tidak sedang ingusan sekarang, jadi aku tak butuh dasi. “Ilang.”
Zakir berjengit. “Pah! Macam aku bisa kena kibul aja! Mana ada ceritanya keturunan Kaisah ilangin barang. Pulpen seribuan saja kau jaga macam itu batang emas murni, apalagi dasi baru.”
“Gak sopan. Kau ngebacot macam yang barusan itu kebiasaan nista.”
“Bikin jengkel, soalnya. Taulah ibuku sering cerewet soal kalian? ‘Zakir! Balikin mainan kamu ke tempatnya! Contoh Fakri, tuh!’ atau ‘Zakir! Bisa hati-hati, gak, sih? Pakean kamu kena getah, nih! Contoh Fakri, tuh!’ atau ‘Zakir! Kenapa bisa pensil kamu ilang seminggu sekali! Contoh Fakri, tuh!’ atau—kenapa jarimu?”
“Heh?”
Aku menengok. Sementara kesembilan jari memegang buku, telunjukku teracung lurus bak pasak. Bekas gigitannya mulai tersamar, diganti oleh bengkak bersemu biru. Buru-buru kulipat itu jari keparat, dan rasa nyeri datang menghambur. Aku menjerit. “Kejepit pintu,” dustaku.
“Digigit cewek, kan?”
“....” Setan. Tahu dari mana? Dia ngomong “Digigit cewek, kan?” macam orang ngomong “Digigit nyamuk, kan?” Apa perempuan itu memang lumrah menggigit? Ngeri banget.
“Rihma kontak aku.” Zakir mengangkat ponselnya. “Minta aku tonjok si kamu sebab buat Haina mewek.” Zakir menggaplok telunjukku. Sekali lagi, aku menjerit. “Selesai.”
“Dia suruh tonjok, pun!”
“Hadeuh. Orang biasa asal ceplos ‘tonjok ini’, ‘tonjok itu’. Nonjok itu gak gampang. Salah sedikit, jari kita yang patah.”
Sungguh teman yang biadab.
“Kenapa bisa sampe gigit?” Zakir melepas kacamatanya, menggosok lensa dengan kain pembersih. “Hayo, kau remas-remas dadanya, kan? Uh ... bukan, bukan. Kau mana berani begitu. Pasti pinggul. lebih umum dan mudah terjangkau, soalnya.”
Aku terperangah. Bukan karena omongan semprulnya, melainkan karena memang begitulah aku sempat berpikir. “Sobat sejati, dah, kita,” cetusku, buat satu alis Zakir terangkat. “Tapi dasiku masih ada di itu orang. Mana ada aku buat begitu.”
“Gimana?”
Ngomong apa pula aku barusan. “Itu”—ah, kenapa pula aku mesti takut?—“dasiku disita dia.”
“Oke. Begitu. Jelasnya?”
“Rumit, dah, ceritanya. Berhubungan sama alat menculik, guru galak, senior gila, angsa bau, orang ilang, sama ekskul jadi-jadian.”
“Emang rumit, macamnya.” Zakir garuk-garuk kepala. “Bentar .... Seingatku, kau udah gak pake dasi lamaaaaa banget, deh.”
“Tiga bulanan.”
“Kenapa gak minta balikin?”
“Macam aku yang belum coba aja.”
“Berapa kali.”