FAKRI
ALFAN ESMAND MENANTANGKU BERMAIN CATUR, uang lima ribu dan Cukong ditaruh di meja sebagai taruhan. Jarang dia main pakai taruhan segala. Kami sudah pernah bermain beberapa putaran sebelumnya. Dia pemain yang kuat, tapi mudah buat kesalahan. Dia tahu betul kalau aku tak pernah kalah. Kalau tak percaya, silakan minta testimoni dari ayah Zakir.
“Ini, Pak.” Norin mengeluarkan kantong keresek putih dari balik rak, seorang balita bisa masuk ke sana saking besar ukurannya. “Segini cukup?”
Si Bocah Sableng mengintip ke dalam kantong keresek, mengangguk girang. “Nanti aku ganti.” Dia meraih buntalan roti tawar besar yang baru dipotong ujungnya, melahapnya macam orang kerasukan—bukan. Macam orang gila kerasukan.
“Uh ... itu ... gak usah, ih. Beberapa cuma makanan sisa, kok.” Norin melirik padaku. “Fakri,” desisnya.
“Pa’an?”
“Kamu ... kamu juga.”
Aku terdiam sejenak, melangkahkan kudaku (sekak), buat si Bocah Sableng mengerang, kemudian merogoh ke dalam keresek. Benar-benar buat nostalgia. “Uh ... makasih.” Aku mengeluarkan sekotak kue sus, setengah isinya hilang. Aku menunduk dan mengendusnya.
Norin menyeringai. “Masih juga kamu buat begitu.”
“Apa?”
Norin menirukanku yang mengendus.
“Situ sendiri masih inget?” Aku ambil satu buah: kue sus keju beraroma pandan. Rasanya buat aku ingin menangis. Untuk sesaat, aku melupakan dendam terhadap pelaku pencolongan martabak Holand-ku.
“Aku inget sering bawa makanan sisa ke kelas waktu SD. Kamu makan satu yang kadaluwarsa—aku lupa makanan apa, tapi kamu langsung sakit sampai muntah-muntah. Sedari itu, kamu kapok dan selalu cium dulu apa-apa yang orang kasih ke kamu.”
Susu. Aku ingat betul. Waktu itu, dia bawa susu kotak isi satu liter. Rasanya sudah agak masam, teksturnya juga macam lendir dicampur rambut, tapi aku tetap minum saking udiknya. Dan efeknya bukan muntah saja, melainkan sampai ke berak pula. Traumatis banget, dah.
“Kamu dendam ke aku gara-gara itu,” cicit Norin, murung. “Kamu mulai jail dan sering buat aku nangis.”
“Ngelantur?” Aku angkat satu alis. Jahil? Oke. Kuakui, waktu kecil, aku ini bocah super badung. Tapi dendam?
“Eh?”
Bocah Sableng pegang kepala, menatap horor papan catur. Dia sudah mampus. “Anak laki-laki suka banyak tingkah di hadapan anak perempuan yang mereka suka, Norin.” Segera, si gadis poni berjengit. Dia menatapku seolah-olah aku ini seonggok bangkai tikus yang bisa bicara. Tak sopan banget.
“Simpen rasa khawatirmu, Bos. Aku tau kau sejak dulu udah kena buai tampang berkilau Zakir—Apa aku salah?” tegasku begitu Norin hendak protes. “Aku cuma—Apa, ya? Ah!—punya tempat di hati buat orang-orang dermawan.”
Tak memedulikan apa yang kukatakan, Norin bergeser mundur. “Makasih?”
Aku mendelik; dia pun memekik. “Tau dia sekolah di sini juga, kan?”
Norin mengangguk, takut-takut.
“Anak IPA 3.”
“Tau.”
“Pernah liat?”
“Dari jauh.”
“Pernah bicara—ah, gak. Kalau cuma liat dari jauh, mana ada ceritanya kalian pernah bicara.” Aku mencaplok satu bidak kepunyaan Bocah Sableng. Seketika, keringat merembes di keringat si sinting. Buru-buru kucaplok uang lima ribunya dan kujejal ke punggung Cukong. “Itu gigolo ... bulan-bulan kemarin dia pacaran sama anak SMP. SMP, coba! Dah macam orang pedo aja.”
Untung aku menang. Kalau aku kalah, aku bakal mewek sebab harus bobok Cukong. Dia adalah sahabat dan pendamping hidupku. Tampak Norin yang memicing ketus. Mau tak mau aku khawatir juga. “Jangan bilang-bilang ke Pak Jake, lho. Awas, lho.”