Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #46

5

FAKRI

KETUA IKSAR BERKUTAT DI PINTU RUANG ARSIP. Suara gemerencing terdengar berisik, putar sini, putar sana, sodok, sodok, sodok. Kenop pintunya pasti butut. Si gadis senior mulai kelihatan jengkel ketika terdengar suara klik, dan pintu berayun ke dalam.

“Jangan dibuat berantakan. Awas aja,” ancam Ketua Iksar pada ketuaku.

Si Sableng mendengus, melepas tasnya dari balik jubah. Dari sana dia mengeluarkan kamera dan tripod. “Memang siapa, sih, yang beres-beres tempat ini?”

Ketua Iksar menjulurkan lidah sebagai jawaban, lalu pergi.

Agak lama berselang. Aku duduk menyendiri di pagar koridor—jauh dari si Sableng yang kini sedang komat-kamit tak jelas di Ruang Arsip bersama Norin, jauh pula dari anak-anak Iksar yang asyik merumpi di ruang ekskul. Aku mengeluarkan buku catatan kimiaku, menghafal sejumlah rumus yang malang melintang di sepenjuru halaman. Begitu rapat tulisanku hingga tak menyisakan lahan kosong yang percuma.

“Siapa yang panggil Alfan Esmand?” cetus Kak Nizar, nada jengkel jelas terdengar di suaranya. “Dia ....” Kata-kata terakhirnya terlalu samar buat aku dengar, tapi aku bisa menebaknya: Gila? Edan? Majenun? Rada-rada? Sinting? Miring? Sengklek? Sableng? Abnormal? Abstrak? Sureal?

Mau yang mana pun itu, aku setuju saja.

Ngomong-ngomong, ngapain aku di sini? Bocah Sableng minta aku ikut dalam “upacara pengusiran setan” sintingnya ... tapi aku terlalu waras untuk sudi menimbrung. Ketua Iksar minta aku masuk saja ke ruang ekskul mereka dan makan camilan sambil ngaso ... tapi apa-apaan dengan ekskul itu? Delapan anggota—tiga pria, lima wanita. Macam neraka saja. Untung aku tak memutuskan buat gabung sebagai anggota.

Jadi, aku pun berakhir terasingkan dari dua kelompok dan memilih bertengger di pagar koridor. Uh ... kelakuan yang tak patut ditiru, kalau mau jujur. Bukan perbuatan seorang siswa baik-baik. Untungnya, aku siswa jahat-jahat, jadi tak apa.

“....”

Kepingin pulang ... tapi aku ogah lihat cengiran sialan kakakku. Kami berbagi ruangan, jadi ruang pribadiku di sana ya cuma kamar mandi saja—itu pun sering diintip. Setan alas .... Tak adakah tempat aku bisa mendapat ketenangan hidup? Memang dosa apa yang aku lakukan sementara orang lain tidak? Setidaknya beri aku kamar pribadi; beri aku privasi.

“Enggak ada,” timpal si Ketua Iksar—siapa pun nama gadis itu. Terdengar seruputan kopi yang elegan. Air ludah segera berkumpul di mulutku—gah ... bikin ngiler saja. “Kamu harusnya tau sendiri, kan? Itu anak emang suka tau aja kalau soal masalah beginian.”

“Aku aja baru tau barusan.” Kudengar Kak Nizar mengerang jengkel.

“Itu asli Alfan Esmand?” Suara si Rambut Merah.

Ketua Iksar menggerutu. “Kamu bisa nyium bau menyan, kan?”

“Eh, seriusan? Juragan dari gubuk angker itu? Apa julukan tempatnya itu ...? ‘Taman Surga Kaum Majenun’?”

Seseorang tergelak. Kak Zahra. “Bukan, eh! Sarang si Manusia Bodong!”

“Aula Jamuan Anak-Cucu Siluman,” timpal seorang pria, malas dan datar.

Gelak tawa kini meledak habis-habisan. Kak Zahra sampai kena bengek gara-gara kelewat gaduh. “Bilal! Kamu emang jagonya!”

Sst! Jangan keras-keras, ih!” cicit suara kecil. “Itu anak buahnya masih ada di luar!”

“Itu? Itu anak kelas kamu, kan, Inna?” desak Kak Zahra. Yang ditanya cuma ba-bi-bu tak jelas, kali terlalu malu untuk diasosiasikan denganku. “Pernah lihat wajahnya di website anak jurnal. EUS-02, kan? Siapa julukannya? Abdi Iblis? Kurir Azab? Manusia Setengah Setan? Setan Setengah Manusia? Manusia Setengah-Setengah?”

“Kak Zahra, ih!” Si suara kecil kian panik. “Dia denger!”

Hus! Berhenti ngerumpi, eh,” tandas si Ketua kendati dari suaranya aku menangkap nada geli. Sekarang aku paham betul kenapa Bocah Sableng membenci anak-anak yang satu ini.

“Ngomong-ngomong,” Kak Nizar kembali bersuara, “Cika? Bisa ceritain kejadian lengkapnya? Soal penampakan itu?”

Si suara kecil menjawab, nada cempreng dan mencicit, “Uh ... itu ... ya ... gimana, ya?”

“Coba dari awal,” pinta si senior. “Ngapain kamu di ruang ekskul? Bukannya kemarin enggak ada jadwal?”

“Buat pinjem komputer sama printer. Ini, lho.” Aku mengangkat sedikit wajahku, mengintip lewat ambang pintu. Tampak si Cika—gadis kecil berambut sebahu, poni dipotong tinggi, kening lebar dan putih—mengeluarkan sebundel buku. Kelihatannya buatan tangan—oh ... antologi! “Bentar lagi, kan, UAS, jadi aku pengen beres cepet-cepet.”

Kak Zahra melompat dari tempat duduknya. “Eh? Udah beres? Liat, liat!” Rambut Merah ikut menimbrung, terkikik dan adu bacot dengan berisiknya, tunjuk sini-tunjuk sana, saling rebut buku antologi mereka. Pemandangan yang akan selalu kau dapat jika mengumpulkan sejumlah betina di satu atap.

Kak Nizar kalem-kalem saja, lanjut bertanya pada Cika. “Sendirian?”

“Sampai jam tiga aku sama Nea”—Cika melirik gadis berambut merah—“tapi Nea ditelepon mamanya. Jadi, dia pulang duluan. Aku sendiri beres jam lima kurang sedikit.”

Lihat selengkapnya