FAKRI
“ENGGAK BISA DIPERCAYA ...,” gerutu KM, mengulang kalimat itu untuk ke sebelas kalinya. Mata menatap tangannya yang terangkat. “Dia enteng bukan kepalang! Lebih-lebih dari aku!”
“Kali kau aja yang kelewat Rambo,” timpal Bang Nabhan, juga untuk ke sebelas kalinya. Mata dan tangannya fokus pada obeng dan pantat laptop di meja. Di sampingnya, Ezar duduk menyamping di kursi, wajah menempel di jendela—kelihatan serius sekali.
Aku duduk dekat Ezar, tangan tercelup ke cangkir berisi air es. Rihma sendiri yang belikan. Dia yang salah; mengejutkanku sementara aku bertengger di tepi birai. Untung aku tak mati. Sampai sekarang, selangkanganku masih linu—lututku lemas waktu dipaksa berdiri.
Pikirkan yang lain. Sesuatu yang lebih “wah!”.
Aku memejamkan mata, teringat wajah si Toge yang tertegun, pipi merona—
Oke. Kelihatannya, jatuh dari lantai tiga juga tak terlalu buruk. Bukannya Bocah Sableng juga pernah jatuh dari lantai tiga? Dia masih hidup, kan? Ngomong-ngomong, Al-Fakri, sudah lama kita tak merenungkan soal moto hidup kita. Apa kau lupa?
Kau menghinaku, Sobat. Tentu saja tidak!
Hmm? Masa iya. Apa coba?
Jauhi wanita. Terutama yang cantik, yang jelek sudah jelas.
Bagus!
“Ahahaha!” KM tergelak—entah untuk keberapa puluh kali—tangan menunjuk tak sopan ke wajahku. “Patah hati.”
“....” Manusia ampas!
Aku coba cari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian di Ruang Ekskul TE (Teknisi Elektronika) ini. Bang Nabhan satu-satunya anggota yang masuk, tapi ruangan sudah sempit dipenuhi rongsok rumah tangga: selusin radio, dua TV cembung, komputer jadul, sepiker, kabel-kabel, berkardus-kardus sparepart, dan peralatan yang menumpuk. Sama sekali tak ada yang menarik.
Meskipun KM tak kelihatan macam wanita di mataku, ngobrol sama dia buat perut sakit. Kulihat Bang Nabhan yang kini sedang mengupas papan ketik laptop Rihma yang konon macet, fokus tanpa bisa diganggu gugat. Jadi, aku pun melirik Ezar. “Ngapain?” tanyaku akhirnya. Sedari tadi, aku berusaha untuk tidak bertanya kegiatan kurang kerjaan anak yang satu ini.
“Nunggu Kuncen Bukit nongol.”
Tuh, kan? Aku bilang juga apa. “Eeh ... begitu.” Aku menyelaraskan pandangan dengan dia, menatap Perbukitan yang menjulang tak jauh letaknya. Cuma ada sawah barang beberapa petak dan Sungai Tawas yang memisahkan sekolah dengan rimba setan itu. “Di mana?”
“Sana. Ada cerang di seputaran pohon kelapa yang kesamber geledek, kan?”
“Yakin?”
“Enggak salah. Aku jarang lupa sesuatu yang ‘dah kuliat.”
Pelukis sejati, dah. Tapi, ya ... bukannya aku meragukan ingatanmu ... tapi kakakku berkuasa di sisi lain perbukitan, bukan sisi ini. Aku sendiri tak pernah lihat, hanya konon di kawasan yang satu ini keluyuran kakek-kakek sakti yang jadi raja rimba setempat. Kakak langka kelayapan kemari gara-gara itu.
“Ini bukan kali pertama aku liat sesuatu yang aneh dari sana,” tambah Ezar, mata tak mau lepas dari jendela. “Minggu kemaren, aku denger lolongan serigala dari sana. Serigala! Tobat!”
Ah. Itu ... anjingku, sebenarnya. Si Brutal. Dia punya darah serigala, melolong alih-alih menggonggong, tapi dia ramah dan baik, kok! Cuma, yah, sekali-sekali suka makan marmot atau anak ayam orang.
“Baju sinting,” cemooh KM.
Aku mendelik dan buka mulut, tapi tak mengeluarkan suara apa-apa. Memang mesti jawab bagaimana? Kalau aku bilang aku terpaksa, artinya aku mengakui kalau ini jubah keparat memang pakaian sinting. Kalau aku bilang terserahku mau pakai apa, artinya aku mengakui kalau aku suka rela pakai ini jubah keparat. Serba salah.
“Baju kacung, kan?”
“Gimana?”
“Beberapa bulan lalu ... sebelum UTS pokoknya, ada anak kelas dua yang juga pake pakaian begitu, badan bau menyan.” Rihma mencubit jubahku seolah-olah itu bangkai tikus. “Keliling-keliling ekskul buat bantu-bantu jadi kacung.”
Alfan Esmand. Tidak salah lagi. Ternyata dia asli keliling-keliling jadi kacung dadakan demi dapat tanda tangan Ketua OSIS. Entah kenapa aku malah ikut malu.
KM nyengir. “Boleh aku nyewa jasa? Air galon di ruang ekskulku abis, nih.”
“Ke laut, gih.”
Dia mengikik.
Aku menjulurkan kepalaku ke luar jendela. Gedung Organisasi sekitar sepuluh meter tingginya dari tempatku berada, berbatasan dengan sawah yang baru ditanam. Ada jalan setapak yang memisahkannya, penuh sesak oleh gelondongan bambu yang berjejer dari ujung ke ujung. Aku melirik ke arah ruang arsip Ekskul Iksar—situasinya tak jauh beda. Aku meludah. Air liur terbang bak meteor, mengenai sampah papan tripleks di tengah-tengah sawah. Pasti hasil orang buang sampah sembarangan. Bentuknya persegi, besar tak kurang setengah meter—ibuku tentunya bakal mendaur ulangnya jadi sesuatu yang lebih berfaedah.
“Cie, cie ... yang lagi putus cinta ....” KM kembali mengoceh.
Aku mendelik, nyaris meludahinya, tapi Bang Nabhan menatapku dan menggeleng pelan. Sabar, sabar. Hormati empu yang punya tempat. “Berisik, tau, gak?”
“Minta maaf aja apa susahnya?” celetuk si gadis kacamata, pipi bersandar ke tangan.
“Emang aku buat salah apa ke dirimu?”
“Bukan aku, kunyuk. Haina.”
“Memang aku buat salah apa ke dia?”
KM menghela napas seolah-olah aku ini Homo neanderthal yang tak paham-paham waktu diajak bincang soal teologi[1]. “Gak ada hubungannya. Aku gak peduli siapa yang salah. Mau itu kamu, kek; mau itu Haina, kek; laki-laki bener seharusnya ngalah duluan.”
Dua rekanku ikut mendelik waktu mendengar deklarasi tak masuk akal itu. “Itu jari,” Bang Nabhan menunjuk tanganku dengan obeng, “patah, loh. Asal tau aja.”
Aku terperangah. Gila. Pantas saja sakitnya macam tahi anjing. Sementara itu, Rihma sendiri tak kelihatan kena pengaruh. “Dasar laki-laki. Dikira Haina gak sadar? Pasti dia denger bunyi krek waktu gigitnya.” KM menyeringai. Kejam, dah. “Tapi kali gara-gara itu, dia ngerasa bersalah banget sampe gak berani minta maaf. Minta maaf duluan, Kri. Nantinya juga Haina minta maaf balik ke kamu—bener-bener minta maaf.” Lagi-lagi omong kosong ini. “Aku enggak paham kenapa, tapi dia suka kamu, dia pastinya khawatir dari tadi.”
Nyaris saja aku jatuh menimpa Bang Nabhan. “Gimana?”
Hening sesaat. Kerut muncul di kening Rihma, mata menyipit ke arahku. “Masa?”
“Apanya?”
“Kamu ... gak sadar?”