FAKRI
SEANDAINYA KAKAKKU LIHAT betapa mengenaskan adiknya ini sekarang, tentunya dia bakal ngakak sambil koprol tujuh putaran, guling-guling heboh di tanah, lari-lari telanjang keliling kompleks, koprol lagi, makan beling, minum bensin, koprol lagi, koprol lagi, sampai akhirnya tewas gara-gara sakit perut. Syukurlah dia tak ada di sini. Aku tak mau membunuh darah dagingku sendiri.
“Jadi, gimana?” tanya Nea si Rambut Merah, galak-galak judes. Di belakangnya, Kak Zahra coba serempet-serempet Haina supaya berdiri dekat Kak Nizar. “Apanya yang mustahil?”
Aku berhenti membelai Cukong dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Apes, dah. Ada kalanya aku jadi teramat bodoh sampai-sampai diriku sendiri terguncang hebat. Pasti gara-gara gen maskulin. Kami cenderung berbuat dungu waktu dihadapkan pada gadis cantik. “Eh ... itu ... eh ....” Sebenarnya, aku jarang pakai kata “mustahil”.
Di dunia ini, segalanya berupa probabilitas. Ada yang besar kemungkinannya, ada yang kecil. Ada yang nyaris pasti, ada yang nyaris mustahil. Tapi ... tak ada yang 100%; artinya, tak ada juga yang 0%; artinya, secara paradoks, hukum “tak ada yang 100%” juga tidak benar 100%. Kalau aku bilang “mustahil” atau “pasti”, itu artinya aku sedang pakai majas hiperbolis. Kalian anak sastra, kan? Kalian harusnya tahu. Jadi, jangan segalak itu padaku. Serem, tahu.
“Ahem! Ahem!” Kucoba meniru-niru Alfan Esmand dan ketidak-tahu-maluannya. Tak jauh dari ruang arsip, aku dikepung oleh dua kelompok: tujuh anak Iksar di kanan, lalu tiga anak kelasku yang iseng di kiri.
KM Rihma mengikik. “Malu dia,” desisnya pada Nabhan, cukup keras untuk orang di lantai bawah dengar.
Setan. Aku ingin memutar ulang waktu. Bukan ke beberapa menit sebelumnya; bukan beberapa jam sebelumnya; tapi ke tiga bulan yang lalu, ketika Haina buat aku dituduh sebagai tukang colong. Semua masalahku berawal dari sana.
“Eh ... Cika? Bisa kemari dulu?” pintaku. Orang yang aku ingin Haina panggilkan cuma dia seorang, tapi entah kenapa, keluar-keluar dia malah bawa juga konco-konco lain di belakang. Sejak tadi, si Rambut Merah memelototiku seolah-olah aku ini germo malam Minggu yang sering mondar-mandir di Jembatan Tawas. Uh ... dengan jubah dukun santet menyelubungiku, rasa-rasanya kecurigaannya bukan tanpa alasan juga.
“Eh? Iya?” Untuk sesaat, Cika terkesiap. Asem. Dia pasti heran dari mana aku tahu namanya. “Eh ... ke-kenapa?” si gadis maju dengan enggan, bertanya risih.
“Dahi—” Eit, dah, goblok! Kenapa malah ke jidat! Fokus, fokus! “Ahem!” Terdengar suara Bocah Sableng mengerang di ruang arsip, kesurupan. “Kau bilang kau udah berdiri di pintu ruang ekskul waktu liat ada orang yang masuk ruang arsip—”
“Kamu nguping?” pekik Nea, wajah tercengang hebat.
Aku membeku di posisiku: mulut masih terbuka, tangan masih terangkat, mata setengah berkedip. Rihma kembali mengikik. Tepat ketika aku hendak meludah, Haina menerobos kerumunan dan menarik ujung lengan jubahku. “Haina yang kasih tau dia tadi,” dustanya. Aku mendelik ke arah si Toge, tapi dia malah balik melotot seolah aku ini bocah badung yang susah diatur.
“Ahem!” sekali lagi, aku mengeluarkan dehaman konyol itu dan membuat KM terbahak secara terbuka. Orang yang aku butuhkan cuma Bang Nabhan seorang; kenapa pula dia ikut-ikutan datang? “Kau bilang kau udah di pintu ruang ekskul waktu liat ada orang yang masuk ruang arsip? Begitu?” ulangku pada Cika, ngotot.
Si gadis mengangguk takut-takut.
“Kak Nizar punya spekulasi kalau waktu Cika pergok si penyusup, dia naik ke rak buat sembunyi.” Aku melirik pada si senior, sedikit mengangguk.
Dia tersenyum, balas mengangguk. Meh ... aku suka orang ini. “Nizar,” dia mengulurkan tangannya untuk berjabatan. Sial. Dia buat aku malu sendiri. Semua ini kulakukan untuk menjatuhkannya, padahal.
“Fakri,” balasku. Dan mohon ampun beribu ampun, tambahku di hati.
“Ada yang kelewat sama aku?”
“Eh, bukan ... itu.” Aku melirik Cika. “Berdiri di pintu. Uh, tolong.” Aku mengayunkan jari bengkak pada Bang Nabhan supaya ikut aku ke ruang arsip—yang lain membuntut di belakang. Kudapati Alfan Esmand yang sedang jumpalitan heboh di lantai. Norin berdiri di pojokan, mengatur kamera yang ditaruh di tripod. “Kak, Kak ... awas dulu. Awas dulu.”
Si Sableng menggeram macam kucing edan, mata juling. Kutendang dia tepat di wajah. “Njing!” Setidaknya, dia kembali sadar. “Apaan, sih! Jangan ganggu! Kau bisa membuat setan penunggu ngamuk!” Dia menengadah dan terperanjat. “Wa! Zalim!”
Bang Nabhan tertawa hambar. “Masih sableng macam biasa.”
Aku lupa. Waktu SMP, Bang Nabhan itu seniorku. Dia dan Alfan Esmand seangkatan—satu sekolah pula, kalau cerita Haina benar.
“Mau ngapain ente ke sini?” tanya si Sableng. Seketika, dia pasang sikap siap tempur. “Be-begitu. Mau lanjutin gelut kita waktu SMP? Ha-hah! Zalim, kali ini gak bakal segampang dulu kau kubur aku di sawah—”
“Juniormu ada urusan, katanya. Nyisi dulu bentar.”
Apa gerangan yang terjadi antara dua orang ini di masa lalu? Nah, apa pun itu ... Bocah Sableng terkojot-kojot mundur ke pinggiran. Keringat membasahi poni panjangnya. Bang Nabhan melirikku; aku mengangguk. “Coba naik ke atas,” pintaku, menunjuk ke puncak rak.
Bang Nabhan berlari ambil ancang-ancang dan melompat, menggapai puncak rak. Brak, suara jemari kokohnya menghantam papan, disusul suara berderak ketika rak sedikit bergoyang dan menyenggol temannya. Aku berbalik ke arah pemirsa: semuanya mendengar, lalu menoleh cepat pada Cika.
Dari wajah mata si gadis yang terbuka dan mulutnya yang setengah melongo, kami tahu kalau dia juga mendengarnya. “Waktu itu ‘dah sore, kan?” tambahku. “Pasti sepi. Suara ‘cem ini pasti kedengeran kalo si tukang susup naik ke rak. Gimana? Kemarin kau denger?”
Cika menggeleng.