FAKRI
“GIMANA?” TUNTUT RAMBUT MERAH GARANG.
Keringat dingin merembes di pelipisku. Rasa panas digantikan oleh dingin yang menjalar. Sial. Ngomong apa pula aku barusan? Maksudnya apaan? Aku melirik ke sekitar—Haina tak terlihat. Juga Nabhan. Juga Ezar. Juga Rihma. Norin berdiri tak jauh, menonton penuh perhatian. Samar-samar, aku ingat kalau si poni dan aku pernah ada dalam kondisi serupa waktu SD.
Ke laut, sana.
“Cik, kamu dateng ke sini waktu istirahat pertama, kan?” aku melirik si Dahi Lebar. Si gadis maju selangkah. “Abis itu, kamu langsung ke kelas lagi?” Semoga tidak. Semoga tidak. Semoga tidak. Semoga—
“Aku ... aku ngobrol sama Inna dulu di ruang ekskul. Katanya ada anak laki-laki bego di kelasnya yang—”
“Jadi?” Itu aku. Si anak laki-laki bego. Jangan dilanjutkan. Aku mohon Puan Baik.
“Jadi ....” Dia menggeleng. “Aku kunci lagi ruang arsip waktu bel istirahat abis.”
Tidak normal bagiku untuk jadi beruntung—tapi asli syukurlah! “Hoh. Ya itu dia.”
“Apanya?” desak Nea.
“Kemarin sore, si penyusup kekunci di ruang arsip, nginep di sini sambil sembunyi. Hari ini, Cika dateng lagi. Begitu dia sama ... uh”—untuk alasan yang ajaib, aku tak berani menyebut nama si Toge—“sama temannya pindah ke ruang ekskul, si penyusup ambil kesempatan dan keluar, kabur.”
Mata Nea menyipit, tangan terlipat di dada. “Hayo. Kamu lupain sesuatu?”
“Oh, iya. Cika periksa tiap kardus,” akuku dengan enggan. Padahal kuharap dia melewatkannya.
“Bukan aku,” si Dahi Lebar menampik. “Inna yang buka tiap-tiap kardus.” Kemudian si gadis celingukan, sadar kalau temannya itu hilang. “Ke mana Inna?”
Mana aku tahu! Kali cari anak laki-laki iseng buat diajak jalan-jalan! Terus buat apa pula aku sekarang di sini?
“Oh, kali aja begini: si penyusup pindah,” Kak Zahra usul sambil jongkok di dekatku. “Begitu Cika pulang kemarin sore, dia balikin tiap buku di rak ke kardus lagi, terus pindah sembunyi ke atap rak. Gimana?”
Ya. Kelihatannya emang macam itu—tapi ampas. Aku tak ingin mengakuinya! Kenapa? Kacau sudah. Kemungkinan paling logis disajikan di depanku, tapi aku tak mau menyantapnya hanya gara-gara itu bukan berasal dari otakku. Keparat. “Aku ... aku uh ... aku punya teori lain—”
“Kamu terus punya teori lain,” potong Nea ketus. “Jujur aja. Kamu cuma gak pengen ngakuin omongan Kak Nizar, kan?”
Aku malu dan nyaris tewas—dia benar. Tapi terlaknat kalau aku mengakuinya. Jadi bahan bakar neraka lebih mending ketimbang itu. “Kita bener-bener se-SMP, ya?” Aku sedikit menyusupkan kepalaku ke dalam kardus. Anak gadis biasa kecut padaku, tapi di kali pertama bertemu? Kecuali wajahku sudah bermutasi dari mengesalkan menjadi memualkan, dia kemungkinan besar pernah kenal denganku dulu.
Rambut Merah kelihatan hendak membalas, jadi buru-buru aku memotongnya: “Kardus yang entu.” Itu yang mana, sebenarnya, aku juga tak tahu. Aku asal ngomong, mengulur waktu untuk berpikir.
“Yang mana?”
“Entu.” Aku keluar dari kardus persembunyianku, mata jelalatan panik. Kupilih satu kardus lain dan memeriksanya. “Inih.” Aku nyaris melompat waktu pilihanku benar. “Liat? Ada bekas garis tekuk di sini.” Sepertiga jengkal dari tutup atas, dinding kardus tertekan dan membentuk garis samar di keempat sisi dalamnya. “Di sini pernah dipasangin papan tripleks.”
“Papan tripleks?” Siswa Tambun mengangkat wajah dari kegiatan mencorat-coret tangannya.
“Papannya masih ada, tuh. Si penyusup buang itu lewat jendela belakang. Sekarang lagi nongkrong di sawah.” Bersama ludah najisku. Gah! Untung aku memperhatikan.
“Masa?” Beberapa orang bergegas memeriksanya. Bocah Sableng memanjangkan leher dan ikut mengintip. “Uh, emang ada, rupanya.”
“Papan di pasang, terus buku disusun di atasnya. Jadi, kalopun ada yang buka—dan ternyata emang ada—kardus masih kelihatan berisi. Si penyusup tetep aman.”
Rambut Merah menghela. “Maksa banget, ya ....”
Anda memang benar, dasar anak kutil. Maksa banget.
“Tapi bekasnya emang ada, loh,” bela Kak Nizar, ikut memeriksa kardus yang kumaksud. “Papan tripleksnya juga ada .... Matanya jeli.”
Padahal cuma kebetulan lihat.
Dahi Lebar makin kegirangan. Tak heran. Tak biasanya ada orang yang pakai trik ribet macam ini. Kalau teoriku benar, pasti pelakunya orang super iseng yang kurang kerjaan. Lagian, pertama-tama, ngapain juga dia nyusup kemari? Kesia-siaan di luar nalar.
Mata Rambut Merah melebar. “Terus, siapa pelakunya?”
Kagak tau, aku ingin bilang. “Orang dalam, macemnya. Dia tau kebiasaan anak-anak Iksar buat biarin pintu ruang arsip kebuka, kan?”
“Jelasnya?”
Dia malah minta lebih. Aku mengacak-ngacak rambutku, menyesal sudah ikut campur—dari tadi, aku memang sudah menyesal. “Eh ....”
“Fakri?” tegur Cika.
“Iya, Cik?” jawabku, kelewat semangat. Untuk sekarang, aku amat menyambut segala hal yang bisa memberiku waktu berpikir.
“Bisa ... bisa tungguin bentar?” Cika mencuri-curi pandang pada Siswa Tambun yang sibuk menulis. “Aku ... mau bawa buku catatan punyaku.”
“Oh? Sana.”