Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #50

9

FAKRI

AKU BURU-BURU MINGGAT DARI TKP, meninggalkan si Sableng pada belas kasih Ketua Iksar. Kuharap dia kena azab gara-gara buat aku susah. Ingatan soal percakapanku dengan Haina berkelebat, dan rasa malu menerjang tanpa ampun. Aku memacu langkah secepat mungkin, nyaris jatuh waktu tendang kucing lewat.

“Fa-Fakri! Bentar, bentar! Tungguin!” Norin menyusul. Dari wajahnya, kelihatan jelas kalau dia juga sedang digerogoti rasa malu—walau dengan alasan yang berbeda.

“Enggak tungguin ketua tersayang kita, Bos? Dasar pengkhianat.”

“Ogah ... denger ... dari ... kamu,” tukasnya, tangan di lutut, kacamata melorot, napas terengah-engah. Sesaat kemudian, dia tergelak—entah kenapa. Kupandangi si gadis poni dengan khawatir, curiga kalau majenunnya Alfan Esmand merupakan penyakit menular. “Kamu gak berubah,” celetuk Norin pada akhirnya.

“Apanya?”

“Gak inget? Waktu SD pernah ada yang ambil penghapus Tisa. Kamu yang cari pencurinya buat cari perhatian—”

“Aib! Aib itu! Ngapain juga kau cerita-cerita dengan enteng begitu? Pake wajah polos, lagi!” Serem, dah.

“Halah.” Norin lanjut jalan, tangan mengibas-ngibas udara. “Zakir-Zakir bukan. Kamu mestinya udah biasa sama rasa malu.” Kejam. “Kali ini juga kamu nyoba cari perhatian, kan? Soalnya mana mungkin kamu mau repot-repot. Uh. Targetnya ... si itu ... siapalah ... ah! Inna!

Siapa, tuh! Gak kenal!

Kucoba sekalem mungkin, tapi Norin malah terkikik—dari sana, aku tahu kalau aku sedang merona. Macam gadis perawan. Dasar wajah bajingan! Hormon pengkhianat! Otak sialan!

“Tau, gak? Cewek suka waktu liat laki-laki cemburu, loh ....” Dan cekikikannya berubah jadi cekakakan. Gadis poni bangsat. Aku benci wanita! “Nah, percuma sih kalau yang cemburunya bukan orang yang si cewek suka.”

Kusambar kacamata si Poni Rata—cepat, tepat, dan mantap.

“Wah! Ba-balikin! Balikin!”

Aku baru mau mengejeknya tatkala suara langkah kaki muncul. Aku menoleh, mendapati Nea yang berdiri di belakangku, terengah-engah. Matanya melotot seram. “Aku ada omongan,” cetusnya.

 

AKU INGIN KABUR. Aku sudah ambil ancang-ancang, tinggal ambil langkah seribu, dan bebas. Tapi begitu mataku mengerling buat cari rute teraman, Rambut Merah melompat menghadang. “Jangan kabur.”

“....” Gadis ini memang kenal denganku, rupanya.

“Ikut aku.” Dia menggerakkan jarinya dengan angkuh, melirik Norin seolah dia adalah pengganggu. “Buruan!”

Aku sedang jengkel waktu itu. Jengkel dan malu bukan kepalang. Dan aku pulang dengan kesadaran kalau aku akan bertemu dengan Nita si Satwa. Gelagat pongah si Rambut Merah menyulut murkaku. “Ogah.” Aku bersedekap, kacamata Norin di tangan. “Ngomong di sini kalau emang punya urusan. Terus yang cepet.”

Lagi pula, jangan kira aku dungu. Memang sudah berapa kali aku diajak perempuan buat ngomong? Dasar makhluk-makhluk culas. Aku tahu kalian akan membawaku ke tempat sepi, mengepungku dengan jumlah, lalu merecokiku secara keroyokan. Mengingatnya saja sudah buat aku merinding.

Nea melirik Norin lagi, rasa terganggu kian jelas di wajahnya.

“Uh ... uh ... Fakri?” teman SD-ku meraba-raba udara, kelihatannya benar-benar payah tanpa kacamata. Nada takut terdengar di suaranya. “Baiknya aku pergi aja ....”

“....”

“Kacamata punyaku ....”

“....”

“Fakri?”

“....”

“Fakri, dasar kamu tukang usil kunyuk!”

“Hahah,” aku tertawa hambar. Kasihan Norin memang, tapi aku harus gunakan apa yang disediakan alam. Dengan keberadaan orang ketiga, tentunya si Rambut Merah tak akan sembarangan bicara—

“Dasar banci,” umpat Nea, blakblakan.

Oke. Kelihatannya ... tak semulus yang aku kira. Kuacungkan dua jariku, membentuk tanda perdamaian. Akan tetapi, alih-alih perdamaian, malah tatapan galak yang aku dapat. Misterius. “Ngomong,” tandasku sekali lagi. “Aku balik, nih.”

“Kamu Al-Fakri, kan?”

Aku menunjuk nametag-ku.

“Dari SD Perintis?”

Aku mengernyit. “SD Tentara Pelajar. Tanya aja dia.” Aku mengedik pada Norin. “Kenapa emang?” Setan alas. Aku harap wajahku tidak berkhianat lagi. Itu SD pertamaku, sebelum pindah. Neraka elit.

“Iya, tapi kamu pernah masuk SD Perintis juga, kan?”

Aku menggeleng.

“Kamu lirik-lirik Cika dari tadi.”

Asem. Ketahuan? Uh ... nah, kurasa tak berbahaya kalau aku jujur di sini. “Emang ada hubungannya?”

Lihat selengkapnya