Aku adalah Sanu Vischa, seorang gadis mungil penyuka hujan dan sepi. Jika hujan turun di kala sepi, bagiku itu adalah sesuatu yang sangat sempurna. Tidak ada yang lebih indah dari itu. Aku merupakan seorang siswa kelas dua sekolah menengah atas. Menggantungkan impian pada langit. Berharap hujan akan segera turun membawa serta mimpiku agar aku bisa segera menggapainya. Mimpiku tidak terlalu mewah, bahkan cenderung sangat sederhana. Aku hanya ingin menjadi seorang penulis. Karena, kelak ketika ragaku sudah menyatu dengan tanah aku ingin tetap diingat. Aku ingin mengabadikan kisahku dalam sebuah karya. Untuk ibu dan ayahku, untuk kakakku, untuk orang-orang terdekatku ketika mereka merindukanku. Untuk semua orang yang ingin mengenalku. Parasku tak secantik Marilyn Monroe sehingga berjuta-juta orang di dunia dengan mudah akan mengingatnya. Cukuplah aku diingat melalui karya.
Seperti biasa, rutinitas pagiku sebelum pergi ke sekolah adalah sarapan. Aku, Ayah dan Ibu, serta Kakak laki-lakiku sudah berkumpul di ruang makan. Siap menyantap nasi goreng yang dibuatkan ibu pagi ini. Masakan ibuku memang yang terbaik, tidak ada yang bisa menandinginya. Nampak dari kak Jian yang begitu lahap menyantap nasi gorengnya.
Jian Vischo, dia adalah kakakku satu-satunya. Saat ini tengah menempuh pendidikan disalah satu Universitas swasta di Jakarta. Mahasiswa semester empat dengan jurusan kedokteran. Cita-citanya sangat tinggi. Tidak sepertiku yang hanya bangga dengan jadi seorang penulis. Parasnya pun tidak seburuk diriku. Rambutnya hitam lurus dengan poni yang sedikit menutup keningnya. Berbeda denganku, rambut ikal sepunggung yang tidak terlalu hitam. Kulitnya putih dengan pipi sedikit bersemu merah, sangat tampan. Sedangkan aku, pipiku tak menggemaskan seperti kakakku. Setara dengan sikapnya yang penyabar dan lemah lembut dengan semua orang, terutama pada seorang wanita. Sangat berbanding terbalik denganku yang lebih memilih untuk diam ketika berpapasan dengan seseorang. Baik yang ku kenal maupun tidak. Tapi, aku senang ayah dan ibu tidak pernah membedakan kami. Pun kak Jian yang begitu menyayangiku.
Selesai sarapan aku dan kak Jian segera bergegas. Karena kak Jian harus mengantarku lebih dulu ke sekolah. Jarak antara sekolahku dan kampusnya cukup jauh. Jadi, kami harus berangkat lebih pagi. Aku selalu menjadi murid pertama yang sampai di sekolah. Demi kak Jian agar tidak telat sampai ke kampusnya. Sejak kecil ayah, ibu dan kak Jian selalu bergantian mengantarku ke sekolah. Sampai sebesar ini pun mereka tidak pernah mengijinkanku bepergian seorang diri. Karena mereka tahu, aku terlalu takut dengan dunia luar.
Kami berpamitan dengan ayah dan ibu. Tak lupa dengan mencium tangan dan kedua pipi mereka. Ini kebiasaan kami sejak kecil. Dan menurutku ini bukan hal yang buruk, tidak masalah jika dilakukan sampai dewasa nanti. Salah satu bentuk kasih sayang kami terhadap orang tua kami.
Selagi kak Jian menyiapkan motornya. Ayah dan ibu tidak pernah lupa memberikan kata-kata semangat untukku. “Jangan pernah takut, suatu saat kamu akan bisa menaklukan setiap rintangan yang menghalangi jalanmu.” Dengan serempak ayah dan ibu mengucapkannya. Ya, aku bangga memiliki mereka. Aku beruntung lahir di tengah-tengah keluarga hebat ini.
Kak Jian sudah memanggilku, kami harus segera bergegas. Tak lupa, kak Jian memasangkan helmku diiringi dengan kata mutiara yang seolah sudah menjadi sesuatu yang wajib terlontar dari bibir manisnya. “Jangan mau dikalahkan dengan keadaan, kamu pasti mampu.” Tanpa ragu, kali ini aku menjawabnya. “Kalau begitu, izinkan Sanu beranjak keluar untuk mengahadapi dunia sendiri kak.” “Belum saatnya.” Entah kapan saat itu akan tiba. Aku ingin berjalan sendiri menyusuri jalanan terjal di luar sana. Tapi keluargaku tidak pernah mengizinkanku. Baiklah, sejauh ini aku masih merasa nyaman. Untuk itu aku akan menuruti kemuan mereka. Saat itu akan segera tiba, tidak akan lama lagi.