Detik Masa

Nurul Jefa
Chapter #2

Melangkah, atau tetap tinggal?

Malam ini nampaknya cuaca tidak begitu mendukung. Deru angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya. Pun cahaya bulan hanya terlihat samar-samar. Bahkan hanya ada satu titik cahaya di sudut timur. Mungkin itu salah satu bintang besar yang baru saja muncul. Tanpa ada bintang-bintang lain yang ikut bersinar memenuhi langit malam.

  Aku berencana untuk pergi ke toko buku bersama Rara malam ini. Ada beberapa buku yang harus aku cari untuk referensi melanjutkan berbagai karya tulisku. Kali ini aku putuskan untuk pergi bersama Rara. Sekali-sekali tak apa bukan pergi bersama teman. Tapi jika cuaca mendung begini sepertinya rencanaku akan gagal.

  Kuambil HPku untuk menghubungi Rara. Baru saja aku mencari kontak Rara, tiba-tiba kak Jian masuk. “Dik, ada temen kamu itu di depan. Cowok. Kamu punya pacar kok enggak bilang-bilang sih sama kakak?”. Apa yang baru saja kak Jian katakan. Bahkan selama ini aku jarang berbincang dengan teman cowok di sekolah. Meskipun satu kelas sekali pun. Kecuali ada tugas yang mengharuskanku berbicara dengan teman cowok. Aku pikir Rara yang datang. Tanganku seketika bergetar. Rasa takut lagi-lagi menguasaiku. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diriku sendiri.

  “Kak Jian enggak salah kan?”. Dia hanya mengangkat pundak dan bergidik. Tidak benar-benar menjawab pertanyaanku. Aku segera menghampiri orang itu yang kata kak Jian adalah teman cowok. Tapi kak Jian menahanku. Dia menarik tanganku dan mendekatkan wajahnya pada telingaku. “Jangan panik gitu, yang di depan itu Rara. Bukan cowok kok.” Berbisik dengan wajah tanpa dosa karena sudah mebuatku panik. Aku meliriknya tajam dan mendengus kesal. “Enggak lucu.” Aku tinggalkan kak Jian yang masih terpingkal di depan pintu kamarku untuk menghampiri Rara.

  Benar saja yang duduk di sofa ruang tamu adalah Rara yang ditemani ayah dan ibuku. Mereka terlihat asyik mengobrol. Entah apa yang menjadi topik pembahasannya. Rara terlihat semakin akrab dengan keluargaku. Hanya saja sampai saat ini aku belum pernah menginjakkan kakiku di rumah Rara. Dia sudah sering mengajakku bermain ke sana. Tapi lagi-lagi aku terlalu takut bertemu dengan orang baru. Sekalipun itu keluarga sahabatku sendiri.

  “Hai Ra, udah lama?” “Enggak kok, baru aja.” Aku duduk di samping Rara. Kami membicarakan rencana kami pada ayah dan ibu untuk pergi ke toko buku. Awalnya mereka tidak mengizinkanku. Menawarkan kak Jian untuk mengantar kami. Tapi, aku berusaha untuk meyakinkan mereka. Inilah saatku untuk mulai belajar mengetahui dunia luar lebih luas lagi. Sendiri tanpa dampingan dari ayah, ibu, atau kak Jian. Aku ingin menjadi berani. Jika suatu saat nanti aku berhasil menjadi seorang penulis terkenal, bukankah aku akan bertemu dengan orang-orang baru lebih banyak lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi aku harus memulai? Aku tidak ingin terlambat.

  Setelah mendapat izin dari ayah dan ibu, aku beranjak pergi ke kamar untuk segera bersiap. Kali ini yang aku hadapi adalah kak Jian. Yang ternyata sejak tadi dia masih berdiri di depan pintu kamarku dan memperhatikan percakapan kami. Kebetulan jarak kamarku dan ruang tamu tidak terlalu jauh. Pasti kak Jian bisa mendengar pembicaraan kami dengan jelas.

  “Enggak izin sama kakak juga?” kak Jian mulai protes. Aku berencana untuk keluar rumah tanpa sepengetahuan dia sebelumnya. Harapanku dia tidak marah. Ini pertama kalinya aku merencanakan sesuatu tanpa diskusi terlebih dahulu dengan kak Jian. Meskipun sesuatu itu hanya pergi ke toko buku. Sepele bukan, tapi ini suatu hal yang besar bagi kak Jian yang selalu mendampingiku kemanapun aku pergi.

  “Ini baru mau izin sama kakak. Sanu boleh kan pergi sama Rara. Ke toko buku deket komplek aja kok enggak jauh. Lagian juga belum terlalu malem. Di luar masih aman. Maaf kalau Sanu izinnya telat. Boleh kan kak?” Kujelaskan panjang lebar. Kak Jian masih diam. Sorot maniknya begitu tajam menulusuri manikku. Aku tidak sanggup berpandangan terlalu lama dengan kak Jian dalam keadaan serius begini. Aku takut tindakanku kali ini akan membuatnya marah. Satu-satunya cara untuk menghindari tatapannya adalah menunduk sangat dalam hingga wajahku tak terlihat oleh kak Jian.

  Kak Jian mendekat, perlahan mengangkat wajahku. Aku kembali menatapnya dengan raut memohon agar dia mengizinkanku dan tidak marah. Kak jian tersenyum. Menelangkupkan kedua tangannya di pipiku. Apakah ini artinya dia mengizinkanku? Kepalanya mengangguk. Aku senang luar biasa. Ku ucapkan terima kasih dan memeluknya. Aku sangat antusias, ini pertama kalinya aku pergi bersama temanku, tanpa ibu, ayah, dan kak Jian. Semoga kejadian empat tahun lalu tidak akan terulang.

Lihat selengkapnya