Setelah berdiri cukup lama, Rara memberanikan diri untuk duduk di sampingku. Perlahan dia mulai mendekat dan menanyakan sebab kemarahanku.
“Ada yang salah sama aku? Aku minta maaf ya, San?”
Aku menggelengkan kepalaku. Menarik napas panjang dan berusaha untuk meredam amarahku. Seharusnya aku tidak bersikap seperti ini. Terlebih di hadapan sahabatku, dia juga tamu di rumahku. Lagi pula Rara sama sekali tidak bersalah, harusnya aku bersikap lebih sopan dan bisa menahan rasa kesalku terhadap kak Jian.
“Aku minta maaf, Ra. Harusnya aku lebih bisa menghormati kamu sebagai sahabat sekaligus tamu. Aku udah bersikap engga sopan sama kamu. Tapi ini beneran bukan salah kamu kok. Besok di sekolah aku ceritain ya?”
“Iya aku ngertiin kamu. Tenang aja aku engga akan jauhin kamu kok. Aku berusaha buat pahamin kamu. Ya udah kalau gitu aku pamit pulang ya. Sampai bertemu besok di sekolah.”
Aku memanggil ayah dan ibu karena Rara memutuskan untuk pulang. Kemudian Rara juga berpamitan dengan kedua orang tuaku. Sebelum dia benar-benar meninggalkan rumahku, dia pastikan sekali lagi untuk membuatku tetap tenang. Mengukir senyum dengan tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan selalu ada untukku. Kubalas senyumnya dan melambaikan tangan. Ku akui Rara memang sahabat terbaikku. Banyak tingkah aneh yang aku lakukan, tapi dia tidak pernah merasa ilfil. Justru keinginannya untuk tetap menjadi sahabatku semakin kuat. Terkadang aku tidak percaya, dunia masih menyisakan satu sahabat yang tulus untukku.
Aku mengantar Rara sampai pintu gerbang. Dari jauh terdengar suara motor kak Jian. Setelah Rara sudah tidak terlihat, aku buru-buru masuk ke rumah dan mengunci pintu di kamar. Ibu yang melihat keanehan sikapku membuntutiku sampai ke kamar. Sebelum masuk ke kamar dan memgunci pintu ibu segera bertanya.
“San, kenapa tiba-tiba lari terus langsung masuk kamar. Ada apa?”
“Nanti ibu tanya sama kak Jian aja. Sanu capek, bolehkan kalau langsung tidur?” Ibuku mengangguk kemudian meninggalkanku. Kuserahkan semua pada kak Jian. Pasti dia bisa menjawab pertanyaan ibu dengan jujur. Tanpa harus aku sendiri yang menjelaskan.
Kudengar samar-samar dari kamar, sepertinya kak Jian sudah sampai di ruang tamu dan berbincang dengan ayah dan ibu. Aku sedikit membuka pintu kamarku untuk menguping pembicaraan mereka.
“Apa yang terjadi Jian? Kelihatannya Sanu lagi kesel?”
“Iya bu. Salah Jian juga sih. Jadi Jian keluar tadi sengaja ngikutin Sanu sampai ke dalam toko buku. Terus Jian kepergok di sana. Pasti Sanu tersinggung jadi sampai kesel kayak gitu.”