KRIIIIIIING. Tak seperti biasanya, bel istirahat berbunyi tiga puluh menit lebih awal. Jika seperti ini maka setelah bel istirahat tidak lama akan disusul dengan bel pulang. Mungkin saja para guru ada rapat penting atau acara lain. Aku tetap duduk tenang di bangku. Hari ini malas istirahat di luar, lebih baik kulanjutkan puisi dan cerpen-cerpenku. Aku mulai menulis, Rara yang berada di sampingku tiba-tiba menutup bukuku sedikit kasar.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Tadi janji kan sama aku?”
“Oh iya, lupa. Maaf ya” Aku meringis dengan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kuceritakan semua yang kualami di bus tadi pagi. Rara mendengarkan dengan seksama. Sesekali dia tertawa ketika mendapati cerita yang lucu.
Selesai kuceritakan semuanya, Rara penasaran dengan sosok mahasiswa itu. Dia berencana untuk menjemputku besok, agar bisa satu bus denganku dan berharap akan bertemu dengan cowok itu lagi. Bukan apa-apa, hanya ingin tahu seperti apa. Karena dari ceritaku cowok itu memang unik.
“Ngomong-ngomong San, kamu enggak ada niatan buat nerbitin puisi sama cerpen-cerpen kamu ini?”
“Belum layak kayaknya deh. Aku kan bukan penulis hebat.”
“Belum dicoba kok udah pesimis gitu sih. Sayang kalau dianggurin. Puisi sama cerpen kamu itu bagus semua.”
“Nanti deh, aku mau coba posting di sosial media dulu. Kalau banyak peminatnya bisa jadi nanti aku terbitin.”
Rara terlihat senang dengan langkah awal yang akan aku mulai ini. Saat kami masih asyik bercerita, tiba-tiba saja ada tiga orang siswi yang mendekati kami dan mengambil bukuku. Membukanya kasar hingga ada beberapa lembar yang ujungnya robek. Rara nampak emosi dengan perlakuan mereka. Sepertinya ketiga cewek ini adalah kakak kelas kami. Rara sontak berdiri dengan kedua tangan mengepal. Aku menarik tangannya dan mengelus pundaknya perlahan dengan harapan emosinya akan sedikit teredam.
“Maaf, kenapa buku saya kalian ambil dengan cara seperti itu? Kalian merusak sebagian kertasnya. Apa saya ada salah sama kalian?”
“Kamu tahu kan kita ini kakak kelas kamu. Jadi harus hormat, jangan sok. Karya enggak bermutu gini mau diterbitin? Sayang kertas kalau buat muat tulisan sampah.” Salah satu dari mereka menjawab dengan kasar, aku tidak terima. Kenapa ide yang selama ini aku cari dan kususun dengan susah payah begitu mudahnya mereka menyebut itu sampah.
Rara sudah tidak tahan lagi. Dia mengambil kembali bukuku dan mendorong mereka satu persatu hingga terjatuh. Aku tidak menyangka reaksi Rara akan senekat ini. Bagaimana jika mereka melapor ke guru dan memutar balikkan fakta? Lagi-lagi pikiranku melayang terlalu jauh saat berada di suasana panik begini.
“Ra, tahan amarah kamu. Kalau mereka lapor ke guru dan balik nyalahin kita gimana?”
“Ya enggak bisa lah San. Jelas-jelas mereka yang salah. Mau memutar balikkan fakta. Haruskah CCTV itu yang berbicara?” Rara menunjuk CCTV yang terpasang disalah satu sudut kelas.
Mereka bertiga tak berkutik. Mungkin mereka lupa jika setiap kelas sudah dipasang beberapa CCTV untuk mengawasi setiap gerak siswa dan siswi di kelas. Kali ini aku sedikit tenang, setidaknya sudah ada bukti jika mereka berani melapor.
Aku tidak mengerti, apa sebenarnya masalah mereka. Seingatku aku tidak pernah ada masalah dengan siapapun di sekolah. Apa yang menjadi penyebab mereka berlaku seperti itu terhadapku?
Ketiganya bangun dan bergegas pergi tanpa sepatah kata. Hanya saja salah satu di antara mereka sorot matanya seperti masih menyimpan dendam kepadaku. Entah siapa namanya, aku bahkan tidak mengenal mereka.
“Perasaan aku enggak ada salah sama mereka deh.”