Detik Masa

Nurul Jefa
Chapter #5

Hilangnya yang Berharga

Handphone kak Jian sangat berisik. Kebetulan kamar kami bersebelahan, jadi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku menghampirinya. Pintunya tidak terkunci. Kubuka perlahan dengan sedikit mengintip. Tidak ada siapapun di kamarnya. Kemana kak Jian?

  Kuputuskan untuk masuk dan mengecek handphonenya, mungkin saja ada sesuatu yang penting sehingga membuat benda ini berdering tanpa henti. Lima panggilan tidak terjawab. Pasti orang ini ada perlu dengan kak Jian. Aku berlari menuju lantai bawah untuk mencari kak Jian. Namun hanya kutemukan ibu dan ayah sedang menonton tv di ruang tengah.

  “Cari apa, San?” Tanya ibu.

  “Ibu sama ayah lihat kak Jian?”

  “Loh, bukannya dia ada di kamar, dari tadi enggak ada turun kok.”

  “Oh, mungkin di toilet, yah.”

  Tanpa berpikir panjang aku berlari menuju toilet. Ibu dan ayah hanya menatap bingung dengan tingkahku. Sampai di depan pintu toilet aku berteriak. Kak Jian menyahut dari dalam. Syukurlah, aku lega. Kupikir kakakku hilang atau sengaja kabur dari rumah.

  Baru keluar dari toilet, kak Jian nampak cemas mendengar deru napasku yang tersengal karena berlari. Lumayan lah dari lantai dua ke ruang tengah kemudian ke toilet.

  “Kenapa dek, ada apa kamu sampai teriak kayak gitu. Nyari kakak ya? Kakak enggak hilang tenang aja.”

  “Huffft,,, huffft,,, ini lo, ada yang telfon kak Jian sampai lima kali. Siapa tau penting.”

  Kak Jian menerima hpnya, mengutak atik sebentar kemudian tersenyum. Mencurigakan, sebenarnya siapa yang menelfon kak Jian sampai sebanyak itu. Apa mungkin kekasihnnya? Tapi kak Jian sama sekalih tidak pernah bercerita bahwa dia sedang dekat dengan seseorang. Atau sengaja dirahasiakan. Pikiran burukku ini selalu muncul lebih dulu. Aku menarik napas panjang. Menahan diriku sendiri agar tidak perpikir negatif. Aku harus tenang, tunggu sampai kak Jian yang berbicara.

  “Sebentar, kakak telfon balik dulu ya. Kayaknya penting.”

  Aku mengangguk dan masih setia menunggunya. Masih dengan rasa penasaran, aku berusaha untuk membuang jauh-jauh prasangkaku ini. Duduk di kursi makan perlahan dengan netraku yang masih mengintai setiap pergerakan kakakku.

  “Iya, Tiara. Ada apa?”

  Sontak aku mengambil gelas kaca yang ada di depanku dan meremasnya. Ya, walau aku tahu tanganku tidak akan sekuat itu untuk memecahkan gelas kaca ini dengan satu kali remasan. Kecuali jika aku membantingnya ke lantai.

  Aku sangat menyesal. Seharusnya aku tidak perlu berlari sampai napasku tersengal demi kakak kelas yang kejam itu. Seandainya aku membuka hp itu terlebih dahulu. Tapi, aku tidak boleh lancang meskipun itu milik kakakku sendiri. Mau bagaimanapun aku harus menghormati privasinya.

  Tanganku mengepal keras. Seperti tidak bisa ku kendalikan. Matakku tiba-tiba saja buram, seperti ada genangan air yang menghalangi pandanganku. Samar-samar kulihat kak Jian masih melanjutkan perbincangannya dengan senyum yang terus mengembang sejak awal panggilan tadi.

  Ini pertama kalinya aku sakit melihat kakakku tersenyum. Senyum yang senantiasa membuatku hangat kini telah benar-benar membakarku. Senyum yang selalu kurindukan tiba-tiba saja tidak ingin kulihat sekarang. Selama ini senyum indah itu hanya aku yang bisa menciptakan. Dengan sahabatnya pun senyum kak Jian tidak bisa sehangat itu. Tapi, kakak kelas itu sepertinya perlahan akan merebut milikku.

  Tanpa kusadari pipiku sudah basah dengan air mata yang sejak tadi menggenag di pelupukku. Apa yang dilakukan gadis itu, sehingga dia bisa membuat kakakku tidak melepaskan senyumnya hanya melalui suara. Apakah suaranya terdengar begitu merdu? atau rayuan-rayuannya itu terlalu hebat?

Lihat selengkapnya