Aku terduduk lemas di kursi taman. Bel masuk akan berbunyi lima belas menit lagi. Lumayan lah waktu seperempat jam untuk sedikit menenangkan hati. Setidaknya bebanku akan berkurang dengan menceritakan pada Rara, walau tak seberapa.
“Jadi, apa sekarang?”
Mulutku masih enggan untuk berkata. Rasanya kaku. Seperti terbungkam oleh rasa sakit dalam dadaku. Lukanya telah berhasil merobohkan benteng pertahananku. Selemah ini kah diriku. Ini baru permulaan, haruskah aku menyerah dan tumbang begitu saja. Ayolah, masalah hidup di depan sana masih banyak dan tentunya akan lebih berat dari yang telah menimpaku saat ini.
“Kamu pasti udah bisa nebak kan apa yang mau aku ceritain ke kamu?”
Setelah mondar-mandir akhirnya Rara merasa lelah dan duduk di sampingku.
“Terus tu cewek kenapa bisa sedeket itu sama kakak kamu. Kemarin kamu bilang mau ngawasin kan kalau urusan tukeran nomor hp. Tapi nyatanya?”
Tidak perlu kuceritakan dengan detil Rara sudah mengerti. Anak ini seperti bisa membaca pikiranku saja.
“Iya, aku tau ini salahku. Aku terlambat dan terlalu takut mengambil keputusan.”
Baiklah, ini sebenarnya hanya masalah sepele. Apa salahnya Tiara mendekati kak Jian. Selama dia tidak menyakiti kakakku untuk apa aku khawatir. Urusan dia sama aku biarkan saja menjadi urusanku. Aku sudah dewasa, tidak perlu meminta kak Jian untuk ikut campur dalam masalahku. Aku pasti bisa menyelesaikannya sendiri.
“Sudah lah Ra. Biarin aja kak Jian deket sama Tiara. Selama kakakku tidak terluka karena dia, itu bukan urusanku. Benar kan?”
Karena terkejut dengan ucapanku, Rara tak berkedip melihatku dengan mulut sedikit terbuka. Mungkin dia berpikir sejak kapan aku bisa mengambil keputusan seberani itu karena ketakutan yang menghantuiku selama ini.
“Sesepele itu kamu ngebiarin kak Jian?”
“Tiara jahat sama aku, bukan berarti dia bakal jahat ke kakakku juga. Hehe. Dah lah yuk kita ke kelas.”
Aku menarik tangan Rara untuk segera masuk ke kelas. Tetap tersenyum meskipun masih ada rasa sakit yang tertinggal. Setidaknya dengan berpikir positif dan lebih dewasa bisa mengurangi beban pikiranku. Terbukti, jika hati dipenuhi dengan prasangka buruk terhadap orang lain, maka tidak akan ada ketenangan dalam hidup kita.
***
Waktu istirahat sudah tiba. Ketiga kakak kelas itu kembali datang kekelasku. Tanpa basa-basi Tiara mengutarakan apa maksud tujuannya menghampiriku.