Beberapa bus sudah melintas. Tapi aku masih enggan untuk pulang. Bersantai di halte dalam keadaan sepi begini ternyata cukup menyenangkan. Meskipun bising lalu lalang kendaraan tapi di halte hanya ada aku dan Rara.
“Aku masih bingung, Bu Lisa tahu karya puisiku dari mana ya. Perasaan sampai hari ini beliau belum ngasih tugas bikin puisi.”
“Hmmm, ya udah sih, yang penting kamu bisa diikutkan lomba. Nah, dari situ nanti kamu bisa memulai karir kamu.”
“Apa jangan-jangan kamu ya pelakunya?”
“Hehe.”
Sudah kuduga, pasti ini perbuatan Rara. Ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Dengan begini aku bisa mulai untuk mempublikasikan karyaku. Tidak perlu bersusah payah memposting di sosial media sendiri. Tapi, tantangannya memang sangat berat. Tiara. Aku harus berusaha semaksimal mungkin. Aku harus bisa jadi juara di lomba nanti.
Rasanya ingin duduk di sini saja. Sampai saat ini aku masih ragu untuk bertemu kak Jian. Rasanya malas berbicara padanya. Menurutku lebih baik begini, aku bisa membuang rasa sakitku dengan mudah. Ketika melihat Kak Jian, rasa ingin marah selalu datang. Meskipun diriku sendiri sudah berusaha yakin untuk tidak mau tahu tentang hal itu, tapi, aku hanya manusia biasa.
“San, mau sampai kapan di sini, udah makin sore lo.”
Tak terasa, aku terlalu larut dengan pikiranku sendiri. Ternyata sudah jam tiga sore. Jika aku tidak segera pulang ibu pasti khawatir.
“Sebenernya masih males buat pulang sih, Ra. Tapi kasihan ibu.”
“Kan kamu udah mutusin buat enggak ikut campur urusan kak Jian sama Tiara, ya udah anggep enggak terjadi apa-apa aja kalau ketemu kak Jian.”
Rara memang benar. Tapi kak Jian tidak akan tinggal diam melihat sikapku yang tiba-tiba berubah. Pasti akan ada banyak pertanyaan yang ditujukan untukku. Ya sudah lah, urusan itu nanti saja. Sebaiknya aku pulang sebelum ibu mencariku.
Aku dan Rara akhirnya memutuskan untuk pulang dan menaiki bus berikutnya. Sepanjang perjalanan di dalam bus aku lebih banyak diam. Sebenarnya masih melayang di pikiranku tentang kak Jian dan Tiara. Wajar saja, sejak dulu kak Jian tidak pernah menomor duakan aku. Entahlah apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
Setelah turun bus, aku meminta Rara untuk mampir ke rumahku sambil menunggu adiknya menjemput. Sengaja kita tidak menaiki bus yang berbeda sejak di sekolah, karena aku yang meminta Rara untuk menemaniku sampai rumah. Bahkan seandainya bisa aku akan meminta Rara untuk menginap.
“Ra, nginep sini aja deh, semalem aja.”
“Kasian adikku, San. Dia kan sendirian di rumah.”
“Ya udah sekalian aja dia nginep di sini.”
“Yee, adikku cowok, San. Udah tenang aja besok kita berangkat pagi-pagi lagi kayak tadi. Nanti aku berangkatnya nuju ke sini.”