Waktu begitu cepat berlalu. Jadwal lomba puisi tinggal tiga hari lagi. Sejauh ini Tiara tidak pernah menggangguku lagi. Bahkan tak terlihat menemui Kak Jian juga. Tiara sangat serius menghadapi lomba ini. Jelas dia tidak ingin aku mengalahkannya. Mungkin saat ini Tiara sedang mempersiapkan puisi-puisi yang akan dilombakan. Seperti apa bentuk puisinya, lebih baguskah dariku. Aku tidak yakin saat di perlombaan nanti dia bersedia bekerja sama denganku. Tapi mengingat ucapan Rara waktu itu jika puisi Tiara tak sebanding dengan puisiku. Ah, tidak tidak. Aku tidak boleh sombong dan berpacu pada ucapan itu. Bisa jadi dengan berhentinya Tiara menggangguku adalah salah satu triknya untuk menjatuhkanku di perlombaan nanti. Aku harus tetap waspada.
“Loh, kok enggak ada. Perasaan tadi udah aku bawa.”
“Dek.”
Aku menoleh, tiba-tiba Kak Jian masuk ke kelasku. Sedang apa dia? Ada urusan penting sekalipun biasanya tidak akan sampai ke kelasku.
Kak Jian menyodorkan beberapa lembar kertas. Pantas saja aku mencarinya di dalam tas tidak ada.
“Kamu cari ini kan, tadi ketinggalan di meja makan.”
“Makasih ya kak udah dianterin. Maaf ngerepotin kakak. Kenapa enggak telfon Sanu aja biar Sanu yang ke depan?”
“Jadi sekarang kamu gitu ya sama kakak, kakak enggak bilang kamu ngerepotin kan. Sengaja masuk, hampir dua minggu tiap pagi kakak ga pernah lihat kamu. Kalau perlu setiap pagi kakak bakal mampir ke sini buat liat kamu dulu selama kamu sibuk.”
“Eh Kak, jangan gitu juga. Nanti Kak Jian telat. Maafin Sanu ya kak.”
“Belajar yang rajin ya, bentar lagi bel masuk kan. kakak ke kampus dulu. Nanti pulang tungguin kakak, pulang sama kakak ya.”
Mengelus suraiku kemudian mengecup keningku dengan lembut. Sampai di pintu kelas dia berbalik, memberikan senyum hangatnya. Senyum yang sudah lama kurindukan. Aku kembali melihatnya. Rasa bersalah seketika menyeruak dari dalam dadaku. Rasanya aku telah menjadi adik terjahat di dunia. Sikapku sudah keterlaluan terhadap Kak Jian selama ini. Padahal dalam hatinya dia tidak pernah menomor duakan aku. Sejak kapan aku menjadi egois begini. Kak Jain dengan langkah ringannya mengantarkan puisiku yang tertinggal hingga ke dalam kelas. Masih pantaskan dia dijauhi? Aku yang bodoh, terlalu cepat mengambil keputusan.
Seketika air mataku meluncur tanpa permisi. Pipiku basah dan dadaku sesak dibuatnya. Betapa menyesalnya, aku telah melukai hati seseorang yang sudah jelas sangat aku sayangi.
“Kak, Sanu minta maaf.”
Aku semakin terisak. Tidak bisa mengontrol tangis piluku. Tanganku mengepal tak terkendali. Ingin rasanya meninju diriku sendiri. Sikap hangat Kak Jian telah berhasil membuatku merasa sangat bersalah. Tiba-tiba Rara masuk setelah kembali dari kelas sebelah karena ada perlu. Dia terkejut melihatku tertunduk dangan isakan yang semakin keras.
“San, hei, Sanu. Kamu kenapa, kenapa nangis, San?”
Aku tak bisa berkata lagi. Menjatuhkan tubuhku di pelukan Rara. Tangisku semakin menjadi. Dengan kebingungannya Rara berusaha untuk menenangkanku.
“San, udah-udah. Tenangin dulu ya. Coba cerita pelan-pelan. Ada apa?”
Aku berusaha meredam rasa sedihku. Perlahan mulai bercerita dengan Rara. Walau masih dengan sedikit isakan.
“Kak Jian tadi dateng nganter kertas puisiku yang ketinggalan. Dia nganter sampai ke sini, Ra. Terus ntar ngajak pulang bareng, aku disuruh nungguin. Terus pas mau berangkat ngampus tadi dia cium keningku habis itu senyum. Senyum yang aku kangenin selama ini, Ra. Aku egois, aku terlalu cepat ngambil keputusan. Aku udah jahat sama Kak Jian, Ra.”
Aku memeluk Rara lagi dan kembali menangis. Rasa sesal itu seperti melekat erat dalam hatiku. Rara masih berusaha menenangkanku. Mengelus punggung sempitku dengan lembut.