Kak Jian masih bersembunyi di kamarnya. Padahal aku sudah memintanya untuk cepat karena aku harus segera membuat puisi baru. Bahkan makan siang saja belum sempat kusantap karena menunggu Kak Jian.
“Kak Jiaaaaaaaan.”
Aku berteriak. Tidak ada respon apapun. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengan Kak Jian. Tidak ada salahnya jika aku mengeceki ke kamarnya.
Pintunya tidak terkunci. Kuputuskan untuk langsung masuk. Tasnya tergeletak di ranjang. Tidak biasanya kamar kakakku berantakan begini. Sepatu dan kaos kaki pun masih berserakan di samping meja belajarnya. Sedangkan empunya tengah berlayar memejamkan mata entah sampai mana. Kubangunkan perlahan, setidaknya makan siang dulu baru setelah itu beristirahat.
Sedikit kugoncang tubuhnya. Menggeliat lucu dengan menyipitkan matanya. Kak Jian mulai terbangun.
“Eh, dik. Maaf kakak ketiduran. Pasti nungguin ya?”
“Hehe, makan dulu yuk kak, nanti baru lanjut tidur lagi.”
“Em, enggak. Kamu tunggu sebentar kakak mandi dulu biar enggak ngantuk. Habis itu kita makan terus cerita. Ya!”
Aku mengangguk. Lebih baik menunggunya di meja makan saja, sambil mencari ide siapa tahu dapat. Tanganku tidak lepas dari buku dan Handphone. Sewaktu-waktu sebuah ide akan muncul begitu saja, dan jika aku tidak segera menulisnya maka ide itu akan lenyap tanpa jejak. Di sekitarku ada makanan, peralatan makan, meja, kursi. Apa yang bisa kujadikan ide dengan benda-benda itu. Seprtinnya aku butuh belajar diluar agar ide yang kudapatkan lebih memuaskan. Baiklah nanti setelah makan siang aku akan meminta Kak Jian untuk menemaniku pergi ke bukit yang tak jauh dari rumah.
“Susah banget sih, duh.”
“Makan dulu yuk, nanti baru cerita , ya.”
Tiba-tiba Kak Jian muncul. Aku mengiyakan permintaan Kak Jian. Lagi pula aku sudah sangat lapar. Kami makan dalam keheningan, sangaja agar cepat selesai.
Setelah acara makan selesai Kak Jian kembali bertanya.
“Jadi gimana tadi ceritanya?”
“Puisi Sanu hilang kak. Enggak tahu siapa yang ambil. CCTV sengaja diputus sama pelaku jadi enggak bisa dideteksi. Puisi yang diambil yang mau Sanu pakai buat lomba. Gimana dong kak. Lomba tinggal 3 hari lagi.”
Aku menelungkupkan wajahku di atas meja makan. Aku baru sempat membaca karyaku sekali, hanya mengingat satu atau dua kata saja. Seandainya ingtanku lebih kuat, aku pasti bisa menulis isi puisiku kembali.
“Sini kertas kamu.”
Kak Jian mengambil kertas dan pena yang kupegang. Menuliskan sesuatu di sana.
“Coba kamu ambil puisi kamu yang masih ada.”
Sebenarnya bingung apa yang akan dilakukan Kak Jian. Tanpa bertanya ataupun membantah aku menuruti perintahnya. Mengambil puisiku yang masih ada dan kembali ke meja makan kemudian menyodorkan kertas-kertas itu pada Kak Jian.
“Ini kertas yang kakak anter tadi kan, yakin enggak ada lagi.”
“Iya, kak. Semuanya ada 7 lembar. Hilang 3 jadi sisa 4 itu.”
Kak Jian kembali melanjutkan kesibukannya. Begitu serius menarikan pena di atas kertas. Lumayan lama belum selesai juga. Entah apa yang ditulisnya, bahkan dia tidak mengijinkanku untuk sedikit saja mengintip. Hanya bisa bersabar dengan memperhatikan wajahnya yang tegang. Kakakku ini kalau serius begini terlihat semakin tampan. Pantas saja banyak cewek yang suka. Seandainya aku bukan adiknya mungkin aku juga bisa naksir sama Kak Jian. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
“Dik, ngapain senyum-senyum?”
Kak Jian menyenggol tangan yang kugunakan untuk menumpu daguku hingga terjatuh.
“Ih, apaan sih kak ngagetin. Lagian ngintip enggak boleh, jadinya ya ngelamun.”