Keduanya berdiskusi. Puisi bagaimana yang akan menang jika dilombakan. Kupikir kakakku ini bukan sastrawan, mahasiswa sastra juga bukan. Pernah menulis juga tidak. Sudah bisa dipastikan gadis ini hanya memanfaatkan keadaan. Lebih baik aku pergi jalan-jalan sendiri sembari menunggu Kak Jian selesai. Lama-lama aku muak melihat tingkah Tiara yang terkesan dibuat-buat itu. Aku berdiri, ingin beranjak dari tempat itu. Mengambil tas slempangku dan memakainya.
“Kak, Sanu mau kesana sebentar ya cari angin.”.
“Sendirian? Jangan jauh-jauh, cepet balik?”
“Oke kak.”
Tiara nampak sumringah. Mungkin ini akan dijadikan kesempatan baginya berduaan dengan Kak Jian. Selama tidak membahayakan Kakakku, itu tidak masalah.
Pemilik resto ini tidak salah memilih spot di dekat pantai. Restonya tidak pernah sepi pengunjung. Selama aku berada di sini para pelanggan terus berdatangan. Ramai namun menenangkan. Semilir angin dari pantai membuat suasana di sini sangat sejuk.
Pantai yang tidak terlalu luas itu seperti memiliki magnet. Seolah menarik kakiku untuk berjalan ke sana. Sepi, tidak ada satu orang pun karena mereka lebih memilih untuk berkumpul di resto ini. Aku sedikit ragu, tapi sepertinya di sana menyenangkan.
Pasirnya dingin. Aku sengaja melepas sepatuku di pinggir trotoar dekat resto, karena letak resto sendiri tidak terlalu jauh dari pantai. Ombak berderu cukup kencang. Ternyata angin di sini lebih kuat hembusannya. Ditambah kondisi sudah semakin malam. Rasanya aku tidak ingin kembali ke resto. Di sini lebih nyaman.
Kerang-kerang kecil bermunculan di pasir ketika ombak sampai ke tepi. Mereka menggeliat berusaha kembali bersembunyi di dalam pasir. Seperti takut terlihat oleh manusia. Karena bisa saja mereka akan ditangkap dan dijadikan bahan makanan. Seperti hidupku dulu, selalu merasa takut ketika orang asing mendekatiku. Tapi, aku jelas berbeda sengan kerang-kerang ini. Mungkin nasib kerang ini akan tetap sama selama ombak selalu menyapunya ke tepi. Berbeda denganku yang bisa merubah rasa takutku menjadi sebuah keberanian. Ingin sekalih aku membawa mereka pulang. Merawatnya agar mereka merasa lebih aman. Tapi itu mustahil, aku tidak mungkin membawa mereka pulang karena mereka terlalu banyak. Aku harap mereka bisa kembali ke tengah sebelum seseorang melihat.
Di pantai ini aku mendapat banyak pelajaran hidup. Manusia itu lebih beruntung, karena diciptakan dengan akal. Bisa berpikir bagaimana mengatur jalan hidupnya. Setidaknya bisa berusaha dan berdo’a, karena segalanya tetap di tangan Tuhan.
“Dik, Sanu!”
“Eh, Kak Jian.”
“Ngapain di sini sendirian. Gelap dik, kalo kamu diculik gimana?”
“Hehe, emang ada penculik malam-malam di pantai kak? Sanu nyaman di sini.”
Kak Jian justru ikut duduk di sampingku. Tiara masih berdiri mematung. Bisa saja dia ragu ikut bergabung denganku dan Kak Jian. Pantai ini bukan tempat wisata, dia pasti berpikir tempat ini kotor. Padahal justru sebaliknya. Tidak ada campur tangan manusia. Pantai kecil ini benar-benar masih alami.