Seperti biasa, suasana sekolah masih sepi. Aku kembali pada rutinitas awal, berangkat dan pulang sekolah bersama Kak Jian. Begitu juga Rara. Kali ini dia tidak harus menjemputku lagi dan bisa langsung menuju ke sekolah, tanpa harus memutar jalan lebih jauh.
Ada seseorang tengah duduk di bangku taman. Aku seperti mengenalnya. Seorang murid perempuan. Dengan tas berwarna dusty pink menempel di punggungnya. Menunduk sangat dalam, seperti meratapi sebuah nasib. Pandangannya sendu. Genangan air memenuhi netranya yang sewaktu-waktu bisa saja jatuh ketika dia berkedip.
Ternyata, kejadian tadi malam cukup membuatnya terpukul. Bahkan sudah satu malam dilaluinya dengan memejamkan mata dia masih terus mengingat. Mungkin saja matanya terpejam hanya sekadar terpejam. Bukan benar-benar mengistirahtakan lelahnya. Sedikit isakan mulai terdengar. Napasnya terdengar tak stabil karena tangisan yang ditahan. Dia terlihat sangat terluka. Tapi itu semua terjadi karena ulahnya sendiri.
“Tiara.”
Si pemilik nama hanya menoleh sekilas kemudian pergi. Sorot matanya masih menyimpan kebencian terhadapku. Entah harus dengan cara apa lagi untuk bisa mendekatinya. Aku sudah berusaha bersikap sebaik mungkin dengannya. Bahkan masalah puisi itu aku sudah melupakan. Lomba akan dilaksanakan besok. Bagaimana bisa, dua orang yang harusnya bekerja sama tapi tidak saling sapa. Pembelaanku terhadapnya dari ancaman Kak Jian ternyata tidak cukup membuatnya terenyuh. Tidak tahu apa sebab kebenciannya terhadapku. Padahal aku tidak pernah mengusik hidupnya. Jangankan mengusik, mengetahui dia ada di sekolah itu saja tidak.
Bel masuk masih sekitar 1 jam. Sekolah juga masih sepi. Entah kemana perginya Tiara. Percuma mengejar, dia tidak akan mau kudekati. Lebih baik aku duduk di taman sembari menunggu murid yang lain datang. Lagi pula, duduk di kelas sendiri ternyata bisa membuat bulu kudukku merinding juga meskipun di pagi hari. Suasana kelas yang belum sempurna terkena sinar matahari menjadi sedikit gelap.
Beberapa kantin sudah mulai bersiap untuk buka. Melihat perjuangan mereka harus bangun lebih pagi demi menyiapkan barang dagangan mereka. Semua hanya untuk mendapatkan selembar rupiah. Tapi, kupikir mereka masih sangat beruntung jika dibandingkan dengan pedagang kaki lima yang kapan saja bisa tergusur. Apa lagi aku. Ayah dan ibu bekerja di kantor, tentu lebih beruntung lagi. Tidak pantas jika aku masih mengeluh. Tugasku sekarang adalah berusaha untuk bisa membuang habis rasa takutku. Hingga tiada sisa.
Aku belajar segala tentang kehidupan dari kakakku sendiri. Bagaimana harus berani dan melawan apapun yang menghalangi mimpiku. Belajar bagaimana menghargai dan berempati terhadap orang lain. Tidak pernah sekalipun aku mendengarkan bibirnya mengucap kata keluhan. Yang aku tahu kakakku selalu bersyukur dengan apa yang dia miliki saat ini. Aku yakin itu kunci mengapa Kak Jian sangat jarang bersedih. Bahkan hampir tidak sama sekali. Hari-harinya selalu tersenyum, dah seolah tidak ada beban dalam hidupnya. Setahuku sebagai mahasiswa kedokteran itu akan mengemban banyak tugas. Tetapi Kak Jian menghadapi semua itu dengan ringan. Aku tidak ingin menjadi siapapun, hanya ingin menjadi diri sendiri yang dengan nyaman dan tenang menjalani ujian hidup seperti Kak Jian.
“Hei!!!”
“Ih, apaan sih, Ra, merdeka banget sih kamu kalau udah ngagetin aku gitu.”
“Hehe, iya, iya maaf. Lagian pagi-pagi udah ngelamun.”
“Tau ah, kesel aku kamu kagetin.”
“Ih kan udah minta maaf.”
Kebiasaan Rara yang sangat tidak aku sukai. Dirinya pun tahu bahwa orang sepertiku tidak bisa terkejut sedikit pasti akan panik. Untung saja dia sahabat baikku. Kalau tidak, mungkin tangannya akan lebam karena pukulanku.
Persitiwa tadi malam, aku yakin Rara pasti akan terkejut jika mengetahuinya. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri membayangkan saat aku bercerita dengannya. Membayangkan bagaimana wajah syok Rara, bagaimana mulutnya yang akan tiba-tiba terbuka karena kaget.
“Yeee, senyum-senyum sendiri. Bagi-bagi kalau lagi seneng.”