Detik Masa

Nurul Jefa
Chapter #13

Skenario Tuhan

Siapa ya? Otakku masih berpikir keras. Wajah cowok ini, aku pernah melihat sebelumnya. Kenapa ingatanku begitu lemah, mengingat begini saja tidak bisa.

  “Ini beneran adikmu kan, Yan?”

  “Iya, kenapa, enggak mirip?”

  “Mirip, mirip banget malah.”

  Ya, aku mengingatnya sekarang. Cowok ini yang pernah aku temui di bus dua kali. Ternyata dia juga mengenal Kak Jian. Kelihatannya mereka sangat akrab. Tapi bukankah mereka berbeda fakultas. Apa mungkin dia teman Kak Jian waktu SMA juga, jadi mereka sudah akrab lebih dulu.

  “Kakak ini yang pernah satu bus sama aku kan?”

  “Hehe, masih ingat ya kamu.”

  Kak Jian memandang kami berdua secara bergantian. Jelas dia bingung karena kami seperti sudah saling mengenal. Padahal di antara kami tidak ada yang tahu nama masing-masing.

  “Udah kenal?”

  “Jadi, teman Kak Jian ini pernah satu bus sama Sanu kak. Sampai dua kali malah. Ya sengaja merhatiin karena jasnya sama kayak Kak Jian. Kakaknya ramah lagi, suka senyum.”

  Kak Jian mengangguk-anggukkan kepalanya. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia sedikit cemburu. Pasti Kak Jian sedang merasakan seperti apa yang kurasakan ketika melihatnya dekat dengan Tiara. Sontak aku merangkul lengan Kak Jian dan berdiri lebih dekat dengannya. Aneh memang, kami saudara kandung tapi sudah seperti sepasang kekasih. Banyak orang yang tidak mengenal kami akan mengira kami pasangan kekasih. Karena dari wajah kami sudah memperlihatkan bahwa usiaku dengan Kak Jian tidak terpaut jauh.

  Saat kami tengah asyik mengobrol tiba-tiba Revan datang mendekat. Melakukan tos dengan teman Kak Jian. Oh, sampai sekarang pun aku masih tidak tahu namanya, begitu juga sebaliknya. Wajah mereka mirip. Jangan-jangan mereka juga adik kakak sama seperti aku dan Kak Jian. Pantas saja Revan sangat ramah, periang, dan murah senyum. Ternyata dia mewarisi sifat kakakknya.

  “Hebat, juara dua. Lain kali harus bisa nyusul si cantik ini. Semangat.”

  Teman Kak Jian itu berbicara dengan Revan dan menunjukku. Karena tidak tahu namaku dia memanggilku “si cantik”. Semoga saja pipiku tidak bersemu merah karena tersipu malu mendengar pujiannya.

  “Namanya Sanu. Dari tadi udah disebut sama Sanunya kok manggil si cantik. Cuma aku yang boleh manggil gitu.”

  Kami berempat tertawa bersama. Bahkan seluruh mata yang ada di sekitar kami memandang kami. Karena volume suara yang tidak terkontrol.

Lihat selengkapnya