Rasanya sangat lelah setelah hampir satu hari penuh memerangi rasa tegang. Aku melemparkan tas sekolahku begitu saja di atas tempat tidur. Membaringkan tubuhku sejenak. Untung saja sekolah memberikan dispensasi untukku dan Tiara agar beristirahat setelah lomba. Setidaknya aku bisa merilekskan pikiranku sejenak.
Otakku kembali berputar pada kejadian di taman belakang gedung kota, beberapa jam yang lalu. Bagaimana bisa Tiara iri padaku, sampai-sampai rasa benci berhasil menguasainya. Padahal, selama 1 tahun lebih aku dan dia sama sekali tidak pernah saling mengenal. Sekadar tahu saja tidak. Jika bukan Rara yang menceritakan waktu itu, mungkin sampai sekarang aku tidak akan tahu tentang Tiara. Lalu apa awal dari masalah ini. Tiba-tiba saja dia mendekatiku saat itu, dan tanpa basa-basi marah kemudian merusak bukuku. Sampai sekarang pertanyaan itu selalu berputar-putar di kepalaku. Bagaimana dia bisa tahu jika aku gemar menulis puisi. Padahal aku tidak ada niat sedikitpun untuk bersaing dengannya. Jika sama-sama suka pun tidak seharusnya bersaing, malainkan bekerja sama belajar untuk menjadi penulis profesional.
Ketika aku bertanya apa masalahnya, dia menjawab iri. Atau jangan-jangan diam-diam gadis itu sudah mencari tau tentang aku. Apa alasannya mengatakan jika orang tuaku sangat menyayangiku. Tentu saja, dimana pun tempatnya, setiap orang tua pasti akan menyayangi anaknya. Tanpa dia katakan aku juga mengerti tentang hal itu. Ya, sebuah kejanggalan ada di situ, tentang orang tua. Tidak mungkin Tiara menyebutkan tanpa alasan.
Kenapa aku harus ikut berpikir keras begini. Bukankah itu urusan Tiara sendiri. Tapi, masalah ini menyangkut diriku, bagaimana mungkin aku hanya akan duduk manis dan menjadi penonton. Siapapun pasti akan menyebutku manusia tak berperasaan. Entahlah, aku lelah. Sebaiknya tidur sebentar untuk bisa memulihkan suasana hatiku. Kejadian hari ini benar-benar sangat menguras pikiranku.
***
Ternyata aku tertidur cukup lama. Keadaan di luar sudah terlihat remang-remang. Aku melirik jam tanganku. Terang saja sudah pukul 18.30. Selama itu kah aku tertidur, sejak pukul 2 siang. Ini pertanda aku benar-benar lelah baik fisik maupun batinku.
Tumben sekali Ibu dan Kak Jian tidak membangunkanku. Mungkin mereka mengerti aku sedang kelelahan. Aku menggeliatkan tubuhku, rasanya seperti baru terlepas dari sebuah ikatan tali yang kuat. Tulang-tulangku terasa kaku. Untuk berdiri dan berjalan ke kamar mandi pun rasanya tidak sanggup.
Ini hanya lomba cipta puisi, bukan lomba maraton atau cabang olahraga yang lain. Lemah sekali tubuhku. Bagaimana jika suatu saat nanti aku terpilih lagi mewakili sekolah untuk lomba cabang olahraga, bisa-bisa aku akan membutuhkan waktu 1 minggu untuk mengembalikan stamina.
Seseorang mengetuk pintu kamarku, kupersilahkan untuk masuk. Ternyata Kak Jian.
“Kakak kira belum bangun. Kayaknya capek banget, ya. Mandi dulu gih sana, habis itu makan baru istirahat lagi.”
Aku mengangguk. Kemudian Kak Jian kembali, dia memberi tahu bahwa ayah dan ibu sudah menungguku di meja makan. Mataku seperti terkena lem, sangat sulit untuk dibuka. Ayolah, semuanya sedang memungguku.
Kupaksakan tubuhku untuk berdiri dan segera menuju kamar mandi. Meskipun rasanya sangat berat tapi aku harus melawannya.