Detik Masa

Nurul Jefa
Chapter #15

Kenyataan Hidup

Aku menelusuri koridor sekolah. Berharap bisa menemukan sosok Tiara. Suasana sekolah memang masih sangat sepi, tapi hari itu masih sangat pagi pun Tiara sudah datang. Semoga saja hari ini dia akan datang lebih pagi sama seperti hari itu. Aku akan lebih leluasa membujuknya jika suasana sekolah masih sepi.

  Aku menuju kelasnya, mungkin saja Tiara sudah berada di sana. Setiap sudut sekolah kutengkok, berharap bisa kutemukan Tiara. Sampai di kelasnya, suasana masih sepi. Bahkan kelasnya masih gelap karena seluruh jendela masih tertutup tirai. Sepertinya Tiara memang belum datang. Rasanya sedikit kecewa. Aku berharap pulang sekolah nanti dia mau menemuiku.

  Aku memutuskan untuk langsung ke kelas. Kursi taman pasti masih basah karena sisa gerimis subuh tadi. Duduk di dekat jendela kelas dengan menikmati pagi mungkin saja aku bisa mendapat inspirasi untuk melanjutkan karyaku. Oh iya, puisi yang ku ikutkan lomba hari itu belum ada kabarnnya. Entah akan dipublikasikan atau menjadi koleksi pribadi oleh para panitia. Sampai sekarang yang tahu isi dari judul puisi ‘Terang di Balik Gelap’ hanya aku. Bahkan Kak Jian yang memaksaku untuk memberitahu isi puisinya belum kuberi tahu. Masih menjadi rahasia antara Tuhan, aku, dan para juri hari itu.

  Saat sampai di kelas, ada seseorang duduk di sudut bangku paling belakang. Wajahnya belum jelas karena kondisi kelas yang masih gelap. Aku membuka tirai jendela satu persatu. Agak ragu karena takut. Bagaimana jika yang duduk di bangku itu adalah sosok penghuni kelas ini. Rambutnya panjang dan berbaju putih. Aku tetap berpikiran positif karena kebetulan hari ini seragam yang kami kenakan juga berwarna putih. Mungkin saja salah satu teman sekelasku.

  Tanganku masih sedikit bergetar. Saat kubuka tirai terakhir yang tak jauh dari tempat gadis itu duduk, wajahnya mulai terlihat. Ternyata Tiara, aku menghembuskan napas lega. Setidaknya bukan hantu. Bagaimana mungkin pagi buta begini ada hantu. Tapi, sedang apa Tiara di kelasku. Sebelumnya tidak pernah, hanya waktu itu saja saat dia merusak bukuku. Pasti ada sesuatu.

  Sepagi ini wajah Tiara sudah terlihat sendu. Matanya sayu dan sedikit sembab. Kali ini memang tidak menangis, tapi bekas air matanya masih sedikit tertinggal di ujung pelupuknya. Aku mendekatinya.

  “Tiara, tumben di sini. Kamu baik-baik aja kan?”

  Menoleh perlahan, dia memintaku untuk duduk di sampingnya. Setelah menaruh tas di bangkuku sendiri, aku kembali dan duduk di sampingnya.

  “Kamu beneran mau jadi temanku kan?”

  Aku terkejut. Aku tidak salah mendengar kan? Tiara memintaku untuk menjadi temannya. Atau aku masih dalam pengaruh mode tidur. Aku harap Tiara sadar mengucapkan itu. Karena terlalu syok aku masih membisu. Tidak percaya dengan yang diucapkan Tiara barusan.

  “Kok kayak kaget gitu. Aku minta maaf udah pernah jahatin kamu, bahkan sampai nyuri puisi kamu. Aku menyesal. Tapi kamu tenang aja, aku bakal ngaku sama guru BK. Biar secepatnya diproses.”

  Niatnya memang baik. Tiara ingin mengakui kesalahannya di hadapan guru BK. Aku tidak perlu lagi bersusah payah mencari cara untuk menegurnya, dia sudah sadar dengan sendirinya. Tapi kenapa hatiku terlalu iba untuk membiarkannya mengaku. Sejujurnya aku sudah melupakan masalah ini. Toh, lomba juga sudah selesai. Aku sudah berhasil mewujudkan harapanku untuk menjadi juara. Dalam hatiku berkata Tiara tidak perlu mengaku di depan guru BK. Karena resiko yang akan dia terima pasti sangat berat. Skorsing itu pasti. Jika sampai dikeluarkan bagaimana. Tapi jika aku melarangnya, apakah itu keputusan yang benar?

Lihat selengkapnya