Sejak tadi, aku belum melihat mama Tiara. Yang melintas beberapa kali hanya asisten rumah tangga yang biasa dipanggil bibi oleh Tiara. Jiwa keibuannya sangat jelas memang, dari caranya tersenyum kepadaku dan juga Kak Jian. Sangat tulus dan tidak dibuat-buat. Pantas saja jika Tiara merasa lebih nyaman dengan bibinya. Karena dia mendapatkan segalanya dari bibinya, dan tentu yang tidak didapat dari ke dua orang tuanya.
Kami mengobrol bertiga. Menceritakan tentang kisah yang lucu agar tidak terlalu tegang. Tiara masih sedikit canggung dengan Kak Jian. Mungkin saja masih mengingat masalah puisi waktu itu. Belum lama kita mengobrol, tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya menuruni anak tangga dan menuju ke taman belakang. Terlihat masih muda dan sangat fashionable. Dibalut dengan kemeja warna putih dan celana tiga perempat dengan warna senada. Rambutnya tersanggul rapi dibelakang bak ibu-ibu pejabat. Kulitnya bersih dan mulus, sama seperti Tiara.
Beliau menyapaku dan juga Kak Jian. Kesan pertama baik, nampaknya beliau juga sangat menghormati tamu. Meskipun itu bukan tamu beliau. Lantas aku memulai pembicaraan tanpa basa-basi lagi. Aku meminta Tiara untuk mengajak Kak Jian pergi dulu, tapi Kak Jian menolak. Akhirnya Tiara meminta izin pada mamanya untuk ke toilet, dan tinggallah kami bertiga, aku, Kak Jian, dan mamanya Tiara.
“Jadi gini tante, sebelumnya saya minta maaf karena sudah lancang ikut campur urusan keluarga tante. Tapi, ini menyangkut Tiara tante. Apa Tante tahu bagaimana sedihnya Tiara kalau di sekolah?”
“Sedih? Setahu saya, anak saya itu selalu bahagia. Apapun yang dia inginkan selalu terpenuhi. Apa yang membuatnya sedih. Jangan mengada-ngada kamu.”
“Kasih sayang kedua orang tuanya. Tiara kekurangan itu, tante.”
Sontak mama Tiara terdiam. Beliau tidak bisa menjawab lagi. Wajahnya kikuk dan kebingungan. Karena jelas beliau salah dalam hal ini. Bahkan mungkin beliau juga malu.
“Sekali lagi saya mohon maaf, tante. Bukan bermaksud ingin menggurui, tapi saya tidak tega jika harus melihat wajah Tiara sendu setiap hari. Andai Tante menyaksikannya sendiri, pasti tante akan berpikir sekali lagi untuk mengabaikannya.”
“Tapi Tiara sendiri tidak pernah mengatakan apapun kepada saya. Kamu jangan ngarang ya. Saya bisa tuntut kamu lo karena mencemarkan nama baik saya.”
“Mencemarkan nama baik tante? Atas dasar apa? Memangnya adik saya mempublikasikan kasus tante, tidak kan? Tujuan adik saya di sini hanya ingin mengembalikan hak Tiara yang sudah lama tidak tante berikan. Maaf kalau saya menyela.”
Hampir saja aku kehilangan kata-kata. Mendengar ucapan beliau yang ingin menuntutku seketika seluruh organ tubuhku seperti membeku. Keberanianku masih belum penuh ternyata. Untung saja Kak Jian segera menimpali. Sehingga semuanya kembali menghangat. Seandainya aku tidak membawa Kak Jian, mungkin tuntutan itu akan benar-benar melayang padaku.