~Jika menolak bertemu adalah suatu kesalahan, berarti menghindari dan menyalahkan suatu pertemuan adalah sebuah pengkhianatan~
Lagi-lagi macet. Pemandangan lazim pengganti sarapan. Kendaraan terus berebut celah, suara kelakson saling bersahutan. Segelintir anak kecil keliling bernyanyi, ikut berebut celah, menanti jendela mobil terbuka, menaruh harap pada uang dua ribuan dari suara pas-pasan, dari gitar kayu seadanya. Memekakkan.
Sudah pukul delapan. Gadis itu menatap sebal jam di pergelangan tangannya. Ia terlambat. Lagi. Seharusnya ia bangun lebih pagi, mengatasi kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa terjadi hari ini kalau tadi malam ia mau mengontrol tangisannya. Terlalu banyak seharusnya, itu sama sekali tidak membantunya keluar dari kemacetan panjang. Ia melihat ke arah depan, mendengus. Berdiam diri menunggu Jakarta lenggang di pagi hari adalah tindakan konyol, berdamai dengan kota super sibuk ini membutuhkan banyak energi. Menjengjelkan.
Ia beranjak dari tempat duduk, menghampiri nenek renta di bagian ujung, berdiri membawa tas bambu dipenuhi beberapa jenis sayur. "Permisi, Nek."
Nenek itu menoleh, keriput di wajahnya semakin terlihat tatkala tersenyum, rambut ubanannya dipenuhi peluh keringat. "Nenek bisa duduk di sana," gadis itu menunjuk bangku kosong yang ia tempati barusan. Masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya, nenek itu beranjak tanpa kata. Mungkin karena terlalu senang mendapat tempat duduk sebab kecapean.
"Pak stop, Pak!"
Bus berhenti, hendak melaju karena tersisa sedikit celah kosong di depan. Supir bus menengok ke belakang, wajahnya masam. "Halte bis sepuluh meter lagi, mbak."
"Saya turun di sini." Gadis itu merogoh uang di saku celana, ia berikan ke supir bus, "Makasih, Pak." Ia berlari keluar.
"Mbak, kembaliannya!" teriakan supir bus tidak ia hiraukan sama sekali.
Gadis itu berlari di sepanjang trotoar, jarak menuju kampusnya tersisa 3 kilo meter, ia akan tetap berlari walau sekarang saja sudah terlambat setengah jam. Ia hanya perlu melewati dua pertigaan lagi, dalam hati ia menyemangati diri. Langkahnya mendadak berhenti, seorang anak kecil dengan seragam merah putih tersungkur di pinggir jalan, diserepet motor. Ia melihat sekeliling, walau mereka melihat, tak satupun mendekat. Sial, ia perang batin. Katanya manusia dikaruniai sifat peduli tinggi, berbudi pekerti. Gadis itu mengambil nafas, meyakinkan diri kalau prioritasnya datang ke kampus mengisi absen yang sudah dua hari ini kosong. Ringisan anak itu kian panjang, hampir merengek. Gadis itu tetap berjalan, menyebrang. Di detik berikutnya tiba-tiba ia berbalik arah, berlari menghampiri si bocah SD. RIP kelas Pak Mujanto.
"Kamu nggak kenapa-napa?" Ia ikut duduk, mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, tergesa-gesa.
Anak kecil itu tidak menjawab, sekarang ia menangis, suara tangisannya semakin besar setelah ditanya. Gadis itu bingung, tidak pernah berhadapan dengan situasi seperti sekarang, berinteraksi dengan anak kecil bukanlah dirinya. Ragu-ragu ia mengikatkan sweter biru muda pada lutut si bocah SD. Setelah ini ia henya perlu membawa anak itu ke apotik, ia butuh kapas alkohol, obat merah, kemudian mengobati luka anak gembul yang entah siapa namanya, beres.
"Sakit,,,," raungnya, terisak.
"Nggak apa-apa, sakitnya bentar lagi hilang."
"Bawa ke rumah sakit," anak kecil itu berhenti di tengah isakannya.
"Ha?" Gadis itu kian bingung.
"Bawa aku ke rumah sakit, Kak. Kalo ibu yang bawa, dia gak punya uang."
"Pakai obat merah aja, luka kamu gak terlalu lecet." Gadis itu merapalkan kata sabar beberapa kali.
Anak kecil itu mendongak, tangisannya semakin deras, "Kakak pelit. Kakak gak mau nolong aku!"
Ya Tuhan! Sekarang aku benar-benar bingung! Gadis itu mengacak rambut yang sedari awal sudah berantakan. Wajah masamnya belum juga hilang, ia pasrah. Tangannya terulur untuk mengusap rambut anak kecil itu. "Naik ke punggung kakak, kita ke rumah sakit." Putusnya berusaha yakin.
Anak kecil itu berhenti menyeka air matanya. "Beneran?"
Ia hanya mengangguk, syukur rumah sakit hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya sekarang. Helaan nafas kasar berhembus beberapa kali, lagi-lagi ia harus membiarkan absennya ternodai.
***
"Dokter?"
Laki-laki yang dipanggil 'Dokter' itu berhenti, ia menoleh. Seorang perempuan menggunakan seragam lengkap khas petugas kesehatan datang menghampirinya, senyumnya merekah. "Jadwal operasinya satu jam mendatang."
"Saya sudah tau."
"Sepertinya secangkir teh melati di pagi hari bisa membuat dokter lebih fresh."
"Gak usah, Bel. Ada yang perlu saya kerjakan." Ia berusaha menolak.
"Lima menit," tawarnya lagi, tatapannya berbinar mengharapkan sesuatu.
"Belinda."