"Bu Laila, putrinya nunggu di depan." Bu Nung mendekat, menaruh beberapa loyang kotor di wastafel.
Wanita yang kisaran usianya menginjak kepala lima itu menaruh kembali loyang-loyang, membuka sarung tangan karet, merapikan pakaian dan ikatan rambutnya yang berantakan karena seharian bekerja. "Saya titip loyang-loyang itu, Buk Nung."
"Kakak di sini?" Nada kelembutan penuh kasih sayang selalu terselip di tiap-tiap sapaan untuk putrinya.
Gadis itu menoleh, raut sendunya berubah ceria sepersekian detik. "Bunda." Ia berhambur memeluk perempuan hebatnya.
"Sudah dibilang jangan mampir ke sini. Capek pasti." Bunda menyingkirkan rambut-rambut kecil yang menghalangi pandangan menyeluruhnya. Desma, putri Bunda teramat cantik.
"Tega, nih, lihat kakak kehujanan malam-malam?" Raut wajahnya sengaja dibuat secemberut mungkin.
Di luar hujannya lumayan deras, padahal sudah pukul delapan malam. Perbedaan cukup kontras dengan cuaca terik di pagi hari. Pelukan hangat itu terlepas, tergantikan genggaman tangan saat keduanya sudah duduk di salah satu bangku toko. Dinding kaca di sebelah Desma beruap, tangannya terulur menghapus bekas uapan. Di laur sana tidak sedikit yang memilih melanjutkan perjalanan karena sudah terlanjur basah kuyup, mau berhenti juga nanggung, sekalian saja basah sampai rumah.
Ia teringat kejadian saat mengantar Gio pulang. Kecil dan sepi, seperti tak berpenghuni. Kesan pertama yang ia tangkap saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang lokasinya berada di pinggiran kota Jakarta. Tak lama seorang perempuan keluar menggunakan daster khas orang rumahan, rambutnya dicepol asal. Perempuan itu berkacak pinggang, langsung menarik Gio dari gendongan Desma. Sepertinya baru selesai mengerjakan pekerjaan rumah, kaki dan tangannya kusut, agak kebiruan.
"Anak bandel! Sudah ibu bilang jangan ke sekolah!" Wajahnya merah padam, matanya melotot tajam.
"Gio mau ketemu teman-teman, Bu. Mau belajar." Aku Gio menunduk takut, tangannya meremas baju seragamnya kuat-kuat.
"Kamu pikir Ibu hasilin uang dari daun pohon?" Perempuan itu sudah siap dengan kemarahan selanjutnya, ia mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Desma buru-buru berdiri diantara keduanya, ikut geram. Walau tidak tahu akan seperti apa masa depan Gio, melarangnya sekolah sama saja dengan memotong tunas kelapa di saat subur-suburnya.
"Bu! Gio masih kecil, dia butuh sekolah."
Emosi perempuan itu kian tersulut, "Tau apa kamu soal sekolah?! Kamu fikir cari uang itu mudah?!" Perempuan itu kembali fokus pada Gio, sudah menangis kencang, "Masuk! Jangan harap kamu bisa sekolah lagi!"
Desma melihat ke belakang, Gio menggeleng, wajahnya memelas. Desma terdorong ke samping tatkala perempuan itu menarik Gio amat keras, tatapan tajamnya meneliti penampilan Desma dari ujung ke ujung.
"Dasar anak preman!" Perempuan itu berlalu, Gio ikut terseret karena langkah kakinya yang lebar dan tergesa, tak lupa membanting pintu sampai-sampai kaca jendelanya ikut bergetar.
Desma terdiam kaku di tempatnya, perkataan Ibunya Gio amat menyakiti perasaannya.
"Gimana kuliahnya hari ini?"
Desma tersadar, ia menoleh, menatap wajah Bunda dengan rasa bersalah.
"Karena doa Bunda tak henti-hentinya menggema, memenuhi seisi langit, everything is fine. Kakak pasti bakal lulus dengan predikat cumlaude." Ia memang pandai berbohong dengan sedikit senyuman tulus di bibirnya. Padahal Desma sedang tidak fine.
Bunda tersenyum, kelewat setuju dengan perkataan putrinya. "Kamu harta Bunda satu-satunya." Ia gemas, hidung Desma berakhir menjadi sasaran cubitan.
"Bunda, ah. Merah nih." Desma memberengut, mengusap hidungnya, kembali menautkan tangan. Ia menunduk sebentar, menatap lekat Bunda kemudian. Beberapa kali bibirnya terbuka, ragu berkata. "Bunda?"
Bunda mengamati hujan di luar sama, belum juga reda, menerka akan pulang memakai apa. Bunda menoleh, "Hm?"
Tidak ada gunanya pelihara ragu, lambat laun topik ini akan dan tetap ada di tiap-tiap perbincangan. "Soal Ayah."
Bunda buru-buru berdiri, raut wajahnya berubah cepat, "Bunda lupa kasih tau Buk Nung kalau bahan persediaan buat roti udah habis. Anak gadisnya Bunda nggak papa, kan, nunggu lebih lama sedikit, hm?”
Pada akhirnya Desma akan tetap pada posisi sebelum ia memutuskan untuk bertanya. Ia mengangguk.