Detik Terakhir

Herman Sim
Chapter #1

Arloji Saku Kesayangan

"At tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thoyyibaatulillaah. As salaamu alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wabarakaatuh, assalaamu alaina wa alaa ibaadillaahishaalihiin. Asyhaduallaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammad rasuulullaah,"

Suara tahiyat terakhir terdengar mengulik sendu terucap dari bibir kecil lelaki, ia menjadi imam sholat kalah malam itu.

"At tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thoyyibaatulillaah. As salaamu alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wabarakaatuh, assalaamu alaina wa alaa ibaadillaahishaalihiin. Asyhaduallaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammad rasuulullaah."

Disambut seorang wanita bermukenah putih, ia duduk di antara sujud dua kaki. Raut wajahnya semakin sedih, tidak tahu apa yang sedang menjadi beban dalam benaknya. Mengengadakan dua tangannya di sertai bibir menyatu tergigit giginya, hatinya bergoncang menguntai untaian doa bagai melawan kesedihan. Selama ini, mungkin saja ia merasa bersalah dan berdosa pada dirinya.

Dua tangan lelaki yang menjadi imam sesaat mengusap wajahnya telah melaksanakan kewajibannya malam itu. Ia lalu tersenyum kecil, namun dari tatapan dua matanya tidak bisa di pungkiri. Bila ada beban, yang selalu menggelayuti pikirannya pada saat menjadi imam kalah dalam setiap sholat. Wajahnya menoleh sedikit kekanan, jelas tetesan air mata sudah membasahi wanita makmum, perlahan dua kakinya mengajaknya berdiri.

"Setiap sholat, aku selalu berdoa memohon pada Alloh. Tapi nyatanya setiap doa dalam sholatku, selalu tidak terjawab," tuturnya wanita itu tapi tidak berani menatap lelaki berwajah tampan itu.

Wajahnya berusaha tegar, walau tetesan air mata sudah menyembabi basah wajah cantik wanita itu. Sezadah sudah terlipat, kemudian di letakannya pada sandaran kursi kayu. Ada rasanya ia tidak percaya dengan Sang Pencipta, Sang Pencipta yang telah menciptakan ia sebagai seorang manusia yang harusnya banyak tawakal, bersabar dan selalu berdoa percaya padaNya. Namun lagi-lagi wajah wanita itu tidak berani menatap lelaki yang selalu menjadi iman kalah setiap dalam sholat.

"Alloh, Sang Pencipta telah menciptakan mahluk manusia. DIA tidak mungkin mengkhianati setiap mahluk ciptaannya. Sabar, tawakal dan selalu banyak doa,"

Lelaki imam itu sudah berdiri, ia menatap wajah wanita itu kini dua matanya jelas terlihat memerah berkaca-kaca, tanda kesedihannya sudah sejak lama terbendung.

"Win, saat ini dan nanti kamu hamil atau tidak. Aku tetap akan selalu ada dan sayang padamu. Kamu tetap istriku." tulus terdengar dari bibir lelaki itu, kini ia memeluk wanita itu yang adalah istrinya.

Menarik napas Windi dalam pelukan suaminya, seraya ia menahan kesedihan agar tetesan airmata tidak lantas bebas keluar dari liang dua matanya. Pandangannya menatap kalender bulanan, bulan mei, tanggal 12, hari selasa, tahun 1998 berlatar belakang kota jakarta.

Peci hitam di letakan pada meja nakas, ia terduduk di ranjang setelah melepaskan pelukan hangat istrinya. Wajah kesedihan berganti sudah dengan guratan tersenyum, namun masih jelas dua matanya meninggalkan bekas kesedihan.

Ruangan kamar sederhana, sekain lama mennati canda tawa dan tangisan bayi. Sekian lama juga keduanya bersabar dan selalu menanti dalam setiap untain doanya mennati buah hati yang tak kunjung datang.

"Irfan, tadi Babah Liong menitipkan ini padaku,"

Arloji saku berukuran kecil, berantai panjang sudah di sodorkan jemari kanan Windi. Ia masih mengenakan mukenah putih, berdiri di hadapannya Irfan, adalah suaminya. Irfan tidak lantas mengambil arloji saku, sejenak ia menatap kiluan kaca arloji saku, terdengar tegas setiap putaran jarumnya. Sangat klasik bentuk arloji saku itu adalah milik Babah Liong di titipkan Windi untuk suaminya.

"Kata Babah Liong, arloji saku itu adalah arloji saku kesayangannya. Tapi Babah Liong mau memberikan arloji saku untuk kamu," tatapan sendu, gemeteran jemari kirinya menggenggam arloji saku pemberian lelaki keturunan cina, ia kenal sudah sejak lama.

Lihat selengkapnya