Detik Terakhir

Herman Sim
Chapter #2

Rumah Sakit Berselimut Politik

"Syringe saja sampai kehabisan stok, apalagi obat-obatan. Dengan apa menyuntik pasien? Apalagi stok obat-obatan sampai keteter," suster berperawakan tidak terlalu gemuk itu sejak tadi menggerutu saja.

Raut wajahnya berkerinyit, sekali-kali ia mengelus keningnya, bibirnya yang tebal tidak henti-hentinya menggerutu kesal. Dua tangannya seraya bingung bercampur dengan pandangan matanya memperhatikan rak persediaan stok obat dan alat medis lainnya, memang tidak lagi banyak stoknya.

"Bingung. Padahal Dokter Irfan minta saya untuk mengambil satu ampule pantoprazole dengan syringe. Tapi satupun obat pantoprazole dan satu saja syringe tidak ada!"

Tambah kesal suster itu, ia hanya terduduk menatap rak persedian stok obat yang kosong. Memang kosong, tidak lagi tersedia stok obat dan alat medis. Kardus kecil saja banyak tertata rapi, tapi dalamnya tidak ada obat atau alat medis. Pandangan suster menatap kosong di luar sana yang tersekat jendela berkaca, beratap langit cerah memayungi tugu monas berlatar belakang gedung bertingkat dan seperti liukan ular, kereta sedang berjalan diatas relnya.

***

"Sakit?" __ "Sakit, Dokter."

Dua tangannya menekan perut seorang pasien gadis, rautnya semakin pucat seraya menahan rasa sakit pada organ dalam perutnya. Ia terbaring sejak tadi malam, tapi karena peraturan rumah sakit membuatnya pasien itu berjam-jam menunggu di ruangan ugd, itupun belum di berikan obat dan di ambil tindakan.

"Dokter Irfan?" ujar suster menahan rasa kesalnya.

Terenyuh Irfan, ia sepertinya tahu dengan sekali melihat raut wajah suster itu. Lantas suster itu hanya memberikan tablet kunyah pada pasien. Pasien itu mengunyah tablet pengurang rasa sakit untuk lambungnya.

"Dokter, gimana ini? Masa semakin kesini persediaan obat dan sampai syringe saja satupun tidak ada. Saya yakin ada yang tidak beres dengan management rumah sakit ini. Kasihan pasien yang tidak punya uang, karena peraturan baru rumah sakit. Mana jaman lagi susah. Dengar-dengar mau ada pengurangan tenaga nakes," panjang lebar seraya bibir tebal suster itu tidak capek meluapkan kekecewaanya pada peraturann rumah sakit.

Pasien wanita tidak lagi mengunyah tablet dalam kerongkongan mulutnya, mungkin saja obat pengurang rasa sakit sudah melebur kedalam lambungnya. "Dokter!" di tambah bingungnya suster memanggil dokter di cuekin saja. Suster sendirian menghadapi barisan banyak pasien terbaring di bangsal, saat ia tinggal pergi dokter dari dalam ruangan rawat inap.

***

"Prug. Prug."

Dari jauh saja terdengar pijakan sepatu berhak tinggi warna merah tua, sepasang sepatu hak tinggi itu menyatu dengan dua kaki putih mengajaknya melangkah berjalannya semakin terdengar dekat.

"Prug. Prug."

Lihat selengkapnya