Detik 13 - Menemani
Jujur, melihatnya seperti itu justru membuat hati ini lebih rapuh dibandingnya. Ketika ia tersenyum walau dalam batinnya menjerit ketakutan.
Jika boleh jujur, Regan ingin membawa Aletta pergi menjauh dari Rumah Sakit. Aletta selalu berkata bahwa ia sudah biasa berada di situasi dan tempat seperti itu, namun sedari tadi tubuhnya tegang dengan tangan yang bergetar pelan. Kedua matanya pun bergerak gelisah, setiap detik gadis itu mengontrol deru nafasnya yang memburu.
Tangan kanan Regan menggenggam tangan kiri Aletta yang dingin, bibirnya pucat pasi apalagi ketika mendengar nama pasien-pasien disana disebutkan oleh pengeras suara.
Mereka tengah duduk di koridor bagian penyakit dalam. Mata Regan terkunci pada pintu ruangan yang terdapat tulisan 'Ortopedi', pemuda itu pernah menemani neneknya untuk mengecek keadaan tulangnya yang kian memburuk dan Rontgen juga.
"Kenapa jadi lo yang takut?"
Regan sontak menggeleng, "Siapa bilang gue takut?" Tanyanya balik.
"Kelihatan, mata lo gak bisa bohong."
Regan menarik satu sudut bibirnya keatas, membuat senyum miring yang menawan. Kemudian ia menggelengkan kepalanya pelan, tidak ingin membuat Aletta kepikiran dan menjadi tambah takut. Ia menunjukkan bahwa dirinya biasa saja seperti tidak ada apa-apa.
"Emang mata gue gini, kayak Lo gak tau aja."
"Masa?" Aletta menatap Regan dari dekat membuat Regan mengerjapkan matanya.
"Gue gak percaya," ungkap Aletta.
"Kenyataannya gitu," jawab Regan berusaha cuek dengan membuang muka, ia tidak mau menatap Aletta yang kini sedikit mencondongkan tubuhnya.
Aletta terkekeh geli melihat Regan salah tingkah seperti itu dihadapannya. Kemudian gadis itu menaikan sebelah alisnya, dan dengan wajah datar ia tertawa. "Lo gak jago akting, kak Regan."
"Gue udah tenang kok, seriusan udah gak takut," Ujar Aletta sekali lagi sembari mengacungkan kedua jarinya keatas.
Regan melepas pagutan tangannya lalu meraba dada kirinya, menghitung selama beberapa detik detak jantungnya yang tidak karuan.
"Kenapa jadi gue yang panik sih?"
"Gue beliin minum ya, kantinnya Deket kok. Lo tunggu sini, dengerin kalau nama gue dipanggil,"
"Kebalik, Aletta. Harusnya Lo yang nunggu, kan Lo yang bakal masuk ruangan."
"Ah! Gue suntuk, mau jalan-jalan bentar. Kantinnya ada dilantai satu kok, gue naik lift jadi bentar."
Regan tertawa, tidak bisa ditahan hingga bahu lebarnya bergetar. "Udah gue duga Lo bosen,"
Aletta memutar matanya kesal. "Menduga-duga itu sebenernya gak baik tau."
"Ya udah maaf, kalau gue tipe orang yang nyebelin."
"Emang Lo nyebelin!" Maki Aletta mengakuinya. "Tapi gue bisa jadi punya kecenderungan suka sama cowok kayak lo."
Regan langsung menatap Aletta dengan intens. Rasa paniknya hilang seketika begitu mendengar kata-kata Aletta. Dan dengan tidak tahu diri, gadis itu berlari meninggalkan Regan yang sudah terkejut setengah mati. Wajahnya pun memanas akibat ulah gadis jahil itu.
Regan hanya diam memejamkan matanya, menunggu Aletta balik dari kantin Rumah Sakit. Untuk membuka ponselnya saja sudah malas, Regan hanya ingin Aletta kembali.
Selang beberapa lama, Regan bosan. Menunggu itu memang tidak enak, apalagi lumayan lama seperti itu. Kemudian ia refleks membuka matanya ketika ada sesuatu yang dingin di pipinya.
Aletta membeli jus dan juga Jagung Susu Keju. Gadis itu tertawa kala melihat Regan mendelik padanya.
"Kenapa?" Tanya Regan saat mendapati gelagat Aletta yang secara tiba-tiba saja berubah.
"Gak pa-pa,"
"Ngaku gak ada apa?" Tanya Regan lagi tapi Aletta tidak menjawab.
Kemudian gadis itu membuka mulutnya. "Ngaku apa? Gak ada apa-apa," balasnya. "Cuma mau nanya, tapi gak jadi."
"Loh kok gak jadi?"
"Ya karena gak penting..." Aletta menyuap jagung nya. "Udah deh gak usah banyak tanya, dasar titisan Dora!"
"Al, ngomong yang bener. Mau tanya apa?"
Aletta berhedam sejenak. "Gak penting dibilang,"
"Gak apa-apa, yang penting gue gak penasaran."