Detik 22 - Semakin Parah
Orang-orang itu percaya dengan apa yang dilihat, bukan apa yang didengar. Bukankah itu mengenaskan?
Pagi ini Aletta berjalan menuju kelasnya dengan kegugupan yang memenuhi segala tubuhnya, dimulai dari pikiran, hati, tangan yang bergetar pelan, dan kedua kaki yang tetap melangkah meskipun lemas. Di sepanjang lorong koridor menuju kelasnya, banyak pasang mata yang memandangnya dengan tatapan yang beraneka ragam. Tentu hal itu membuat dirinya menjadi risih, sampai pada akhirnya Aletta sampai ke kelasnya.
Tubuhnya terasa seperti sedang diikat dengan erat hingga kesulitan untuk bernapas. Namanya semakin sering disebut apalagi ketika kejadian kecelakaan kemarin, terkesan seperti Aletta mencoba untuk mencelakai Misha. Bahkan murid dikelasnya pun secara terang-terangan membicarakan dirinya, walau pelajaran sudah dimulai.
Aletta tidak bisa fokus pada papan tulis di depannya, bahkan penjelasan dari Pak Maman saja tidak masuk sama sekali ke dalam telinganya. Pikirannya terpecah belah kemana-mana; memikirkan siapa yang tega melakukan ini semua, bagaimana cara menghentikan gosip, dan bagaimana caranya untuk tetap tegar.
10 menit kemudian bel yang menandakan istirahat berdering dengan nyaring, suaranya terdengar ke setiap penjuru ruangan. Surga bagi kaum pelajaran, dan sangat surga bagi Aletta karena bisa terlepas dari beban berat yang sedari tadi menimpa tubuhnya. Satu persatu orang pun keluar dari kelas, termasuk Triple-A.
Kakak kelas Aletta—teman sekelas Regan menghampiri gadis itu. Dengan cepat menarik rambutnya hingga Aletta memekik kesakitan.
"Lo udah nyelakain Misha! Dia itu baik, temen gue!" makinya kesal.
"Kak Gladys, udah kak," pinta Amarta seraya maju beberapa langkah—berniat untuk mendamaikan Gladys dan membuatnya melepaskan jambakan Aletta. Namun dihadang oleh salah satu teman Gladys yang otomatis membuat Amarta mundur beberapa langkah takut.
Gladys itu primadonanya SMA Tunas Bangsa. Kulit putih dengan tubuh tinggi semampai adalah idola dan harapan kaum hawa. Rambut gelombang indah berwarna coklat alami dan hidung mancung juga salah satu keinginan perempuan yang ada ditubuh Gladys.
Julukannya adalah bunga mawar. Cantik namun berduri. Gelar yang sangat cocok jika disandingkan dengan Gladys, pembully handal yang tidak akan segan-segan bermain kasar dengan orang yang membuatnya marah. Seolah tidak ada tasa takut sedikitpun sebab pihak sekolah pasrah angkat tangan jika itu bersangkutan dengan Gladys. Baik semua guru, kepala selolah, dan bahkan kepala yayasan tidak berani jika hal itu tentang Gladys, mereka juga tidak berani menghukumnya. Jangankan menghukum atau menentang, menasihati saja jabatan bisa turun. Itu adalah mimpi buruk yang tidak pernah mau dibayangkan oleh seorang kepala sekolah dan yang lainnya.
Lagi dan lagi, Adena dan Amarta tidak bisa membantunya. Sedangkan dilain sisi Aletta berusaha untuk memegangi rambutnya supaya tidak terlalu ketarik oleh genggaman kuat tangan Gladys.
Rahang Angga mengeras, benar-benar marah. Dia sudah naik pitam ketika melihatnya. Cowok itu mengerutkan kening. Tidak, ini bukan hanya kasus bullying lagi. Namun sudah menjarah pada kriminal, benar-benar teror. Aletta adalah murid sekolah, dia juga pantas mendapatkan perlakuan yang layak.
Di lain sisi Aletta sudah lelah. Kepalanya terasa sangat berat, pusing. Namun dia tidak menunjukannya pada siapapun, bahkan dengan kedua temannya pun tidak. Dia tetap berusaha keras untuk melepaskan tangan Gladys dari rambutnya.
"Gue gak sudi murid baik kayak dia tersentuh oleh parasit macam kalian," Kedua bola mata Angga menyorot tajam menghunus ke arah Gladys dan gengnya. Hal itu berhasil membuat tangan Gladys terlepas sebab dia berkacak pinggang dengan raut wajah songong.
"Lo pikir gue peduli?" Tanya Gladys dongkol. "Keluarga Lo gak berarti apa-apa bagi gue," ucap Gladys. Katakan saja dia adalah perempuan paling nekat yang pernah ada di dunia ini karena pasalnya tidak ada yang berani membahas keluarga Angga. Mengingat betapa kejamnya Tuan Sanjaya—ayah Angga, ketika sedang dibicarakan yang tidak baik. Mereka berdua di level yang sama, sama-sama dengan latar belakang keluarga dengan harga diri tinggi yang tinggi dan bermartabat. Karena itu Gladys tetap berani.
"Gue tunggu orang yang udah berani nyentuh Aletta, di belakang sekolah." Pelan namun dalam dan mematikan, itu adalah nada ucapan Angga yang terkesan tegas pada semuanya kemudian bergegas pergi dengan wajah kencang.
Entah apa yang dilakukan cowok itu kepada orang yang ia sebut sebagai parasit, hanya dia sendiri dan tuhan yang tahu.