Detik 23 - Titik Terendah
Dengan setia, Aletta memeluk terus toples cemilannya sejak film kartun yang ia tonton dimulai. Walau sudah besar seperti sekarang ini, bukan berarti tidak boleh menyaksikan tayangan kesukaan di weekend kan? Itulah yang selalu ada di benak Aletta.
Namun suara teriakan Alkan yang menggema hingga ke telinga Aletta mengganggu kesenangan gadis itu. Sampai-sampai Aletta harus menolehkan beberapa derajat kepalanya hingga bisa melihat dengan jelas kakak satu-satunya itu.
Alkan sudah berpakaian rapih, walau paakaian yang terkesan santai karena cowok itu tidak terlalu suka pakaian yang ribet dan merepotkan.
"Ayo,"
"Kemana ayo-ayo?"
"Kan elo udah janji, mau temenin gue nge-date."
"Nge-date nge-date," cemooh Aletta. "Pacar yang kemaren aja belum sampe seminggu udah putus. Berarti emang tandanya Lo ditakdirkan untuk jadi jomblo sejati,"
Alkan mengusap dadanya berusaha sabar dengan kalimat yang sengaja tidak disaring terlebih dulu dari bibir adiknya itu. Cukup menohok hati jika saja Alkan bukan pribadi yang sabar.
"Lo lupa, dek?" Alkan menaikan satu alisnya bingung. "Hari ini jadwal lo untuk kemo dan check up, kan?"
"Astaga," Aletta spontan menepuk dahinya kencang. "Lupa! Yaudah tunggu bentar."
Bila saja ucapan Aletta tadi saat pamit untuk bersiap-siap benar, Alkan pasti akan membelikannya apa saja yang adiknya mau. Tetapi kenyataannya, kata 'bentar' itu bisa dipakai untuk Alkan makan siang terlebih dulu, bermain PlayStation sebanyak dua kali, hingga membantu Pak Wawan untuk menyiramkan tanaman di taman belakang rumah dan mencari kunci Inggris di garasi.
"Dasar betina," decak Alkan. Padahal sudah rapih tadi, tetapi sekarang jadi kucel kembali. Cuma untuk ke Rumah Sakit saja siap-siapnya sangat lama, apalagi jika diajak jalan-jalan oleh pacar. Yang ada pacarnya itu keburu punya cucu dari cucunya.
"Tidur dikamar mandi apa ya?" Tanya Alkan bergumam pada dirinya sendiri.
"Ayo jalan,"
Kemudian Alkan menatap gadis yang sedang menyengir tidak berdosa dihadapannya. Cuma memakai Hoodie abu-abu dan celana jeans saja lamanya bisa membuat Alkan menghabiskan waktu untuk makan, bermain, dan membantu orang.
"What the hell," umpatan itu terus mengalun bagai lagu rock yang terdengar gaduh di dalam mobil.
"Oh my, oh my..."
"Ya lord, gue masih gak nyangka punya adik kayak Lo." Pemuda itu terus meracau tidak jelas.
"Ya Allah ya Rabbi!"
"Ya ampun bang Alkan, Lo abis nelen sound sistem, ya? Ada apa sih?" Cerocos Aletta ketika telinganya terasa tuli saat mendengar jeritan yang terdapat umpatan di setiap katanya dari bibir kakaknya itu.
"Gimana gue gak koar-koar, lo aja siap-siap seabad tau gak. Untung Abang Lo sabar, kalau gak udah gue gigit lu,"
"Dih galak," Aletta bergidik ngeri.
"Bang," panggil Aletta ragu-ragu.
"Hm?"
"Papa gak pulang-pulang? Udah tiga minggu di Medan, padahal kita pindah ke Jakarta karena papa pindah kerja. Tapi dia malah pergi lagi,"
"Kayak gak tau papa aja, orang workaholic susah dihentikan."
Aletta menghembuskan nafas panjang, terdengar berat bagi Alkan. Ia tahu perasaan Aletta saat ini karena ia juga merasakannya. Memiliki orang tua yang jarang pulang, dan sekalinya pulang tidak lama hingga tidak bisa bermain dengan keluarga adalah hal yang sangat buruk bagi seorang anak.
"Sama keadaan gue aja dia gak peduli,"
"Heh, gak boleh ngomong gitu."
"Tapi kan emang bener, itu faktanya."
"Masih ada gue, ada Mama. Ada cowok yang selalu lo tolak,"
"Gue gak suka sama Regan." Tegas Aletta tajam.
"Tapi kan dia suka," Heran Alkan.