Detik 24 - Sebuah Pesan
Ditinggal oleh orang yang disayang itu menyakitkan, apalagi dengan sebuah rasa sesal. Karena penyesalan selalu datang diakhir.
Terus melangkah ke arah lapangan indoor, itulah yang dilakukan oleh Regan. Ketika ia membuka pintu, matanya langsung tertuju pada sosok yang tidak asing lagi di penglihatannya. Seolah mengunci semua gerak-gerik temannya yang tengah duduk di tempat duduk pinggir lapangan basket yang menatapnya balik. Tanpa ragu Regan pun mendekati cowok tersebut.
"Lagi merenungi kesalahan?" tebak Regan tanpa basa-basi. Tepat sasaran! Tebakan Regan memang tidak pernah meleset sedikitpun, mungkin dia ada sedikit bibit-bibit cenayang.
"Ngapain Lo kesini?" tanya Nevan balik berusaha bersikap biasa saja.
"Mau balikin basket," Regan merunduk, menunjuk tanpa jari kearah dua bola basket yang sedang ia bawa. Nevan hanya memanggut-manggut paham kemudian kembali melamun. Keduanya terdiam, sama-sama tidak bersuara, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Sesakit itu?" Pertanyaan yang mampu memecah keheningan tersebut menginterupsi Nevan untuk balik ke kenyataan bahwa dirinya tidak bersama dengan masa lalu nya. Khayalan yang tercipta dari benaknya buyar seketika.
"Lumayan," jawab Nevan sekenanya.
Regan tersenyum tipis sembari menepuk ringan bahu temannya. Cowok itu tidak tahu rasa sakitnya itu seperti apa, namun dia paham ditinggal oleh orang yang disayang itu tidak enak. Seperti apa yang dia alami saat masih memakai seragam putih biru, ketika melihat Bundanya tiada.
"Lagian pake acara kehasut titisan nenek lampir. Padahal kan iman Lo kuat,"
"Itu pujian atau hinaan?" sinis Nevan jengkel.
"Both,"