Detik - Epilog
Regan duduk di sofa kamarnya, menatap buku bersampul biru laut dengan beberapa hiasan cantik seperti kerang di tangannya. Ia mengusap sudut buku, tepat pada tulisan nama Aletta Aditama.
Apakah pantas nama Aditama tersemat pada nama Putri yang sudah ia anggurin itu?
Regan menghela napas, setiap kali mengingat nama Aletta, dadanya pasti selalu bergemuruh hebat bagai badai berangin besar yang mampu menewaskan ratusan orang.
Setelah Aletta pergi, Bu Tiara memberikan diary milik putrinya yang selalu dibawa kemana-mana. Sudah dua tahun lamanya Regan memegang dan menjaga buku tersebut tanpa lecet sedikitpun.
Tiap hari ia baca lembar perlembar, tulisan tangan Aletta yang indah ada disana semuanya. Dimulai dari puisi, torehan kebahagian, atau kata-kata pilu lainnya. Selama dua tahun laki-laki itu hanya membaca, walaupun sudah selesai pasti akan diulang dari halaman pertama hingga akhir. Seolah tidak ada rasa bosan walaupun dia sudah hapal semua kata demi katanya, susunan lembarnya, dan bagaimana perasaan Aletta saat menulisnya.
Tepat pada satu halaman di paling belakang, masih kosong. Bu Tiara sempat menitip pesan untuk menjaga buku itu dengan sebaik-baiknya. Dan jika Regan mau, dia bisa menuliskan apa yang ia mau tulis di halaman terakhir. Melengkapi milik Aletta supaya menjadi sempurna, tidak ada yang kurang lagi.
Dan dari dua tahun lamanya itu, baru hari ini Regan akan melengkapinya. Ia melangkah menuju meja belajar dan duduk di kursi. Mencetikkan bolpoin dan bersiap untuk menulis.
"Ini akan jadi pelengkap," gumam Regan kemudian tersenyum, memandang lekat hasil tulisannya yang tidak terlalu buruk juga. Senang karena sekarang buku tersebut sudah sempurna, mungkin jika Aletta melihatnya dia juga akan ikutan senang.
Tidak terlalu banyak kalimat dan juga tidak menghabiskan waktu yang lama Regan menorehkan apa yang ia rasa dalam buku diary milik Aletta.
The dream of my seconds.
Itulah tulisan di cover diary, tepatnya di atas nama Aletta.
DrtttDrtttt...
Suara itu mampu mengalihkan perhatian Regan hingga menolehkan kepalanya, melihat ke arah ponsel yang menandakan siapa yang meneleponnya di hari libur seperti ini.
Alisnya saling bertaut heran, tumben Nevan meneleponnya? Pasti ada hal yang penting.
"Kena—,"
"Temen lo gila anjir!"
Regan terkesiap, suara Nevan yang sedikit membentak itu membuatnya cukup terkejut. Padahal dia belum selesaikan perkataan bertanyanya, ada apa Nevan memanggilnya?
"Kena—,"
"Lo ada matkul gak?"
"Ada, ema—,"
"Pulang dari kampus langsung ke rumah gue."
Regan berdecak jengkel, daritadi temannya tidak sama sekali memberinya waktu untuk bertanya. Pasti selalu dipotong dengan cepat. Belum sempat Regan bertanya lagi, Nevan sudah mematikan panggilan secara sepihak.
Laki-laki itu menatap ponselnya dengan nanar, entah kenapa rasanya dia mau membanting benda pipih yang tidak bersalah itu sekarang.
****
Regan keluar dari kelas terakhirnya, ia merasa cukup lelah. Awalnya ia tidak tahu kalau dunia perkuliahan akan seberat ini. Secara mendadak, Regan merindukan masa putih abu-abunya.
Saku celananya bergetar, menandakan ada telepon masuk lagi. Ketika melihat nama yang tertera di ponselnya, yang menunjukkan siapa sang penelepon, Regan memutar kedua matanya jengah. Seharian ini Nevan sudah meneleponnya tiga kali. Pertama saat ia masih di rumah, kedua saat sedang istirahat—Nevan mengingatkannya untuk jangan lupa datang, lalu terakhir sekarang. Entah apa yang akan ia katakan lagi pada Regan. Yang jelas pasti tentang Regan wajib ke rumahnya.
"Cepetan!" paksa Nevan tanpa basa-basi. Benarkan dugaan Regan tadi, pasti masih menyangkut tentang pembahasan rumahnya. Dan kini dirinya disuruh datang segera.
"Kenapa sih? Keknya wajib banget gue dateng," decak Regan sebal. Sedari tadi ia mau bertanya, tapi beru bisa sekarang. Mengingat Nevan selalu memotongnya saat hendak angkat bicara.