Paginya, saat aku bangun, mama telah bangun duluan. Aku pun segera mandi dan bersiap pergi ke sekolah. Walau sebenarnya aku sangat malas pergi ke sekolah. Tetapi, ini perintah mama untuk aku tetap pergi ke sekolah walau keberadaanku seperti tidak dianggap ada.
Aku dan Dio sarapan dengan sepotong roti tawar yang dioles dengan selai cokelat. Kak Alfred yang sudah bangun, masih di dalam kamarnya. Sedangkan papa sedang pergi keluar. Setelah sarapan, aku dan Dio segera berangkat ke sekolah dengan naik bus. Dan selama perjalanan pun, aku dan Dio tidak berbicara apa pun.
Sesampai di sekolah, kami pergi ke kelas masing - masing. Selama aku berjalan ke kelas, banyak murid yang menghindariku. Aku merasa seperti virus yang berjalan, sehingga banyak orang yang menghindariku. Aku tidak berani berjalan dengan pandangan ke depan, layaknya orang lain. Aku selalu berjalan dengan kepala menunduk.
"Risaa..."panggil seseorang yang sangat aku kenal suaranya. Aku menengok ke belakang dan melihat seorang murid melambai - lambai dengan kegirangan. Itu adalah Tania, teman kecilku. Ia memiliki seorang papa yang merupakan seorang pendeta di gereja kecil tempat biasa kami dulu sering datangi. Mamanya terkena sakit kanker dan sedang menjalani kemoterapi. Awalnya, Tania sangat terpukul. Ia sering terlihat pucat di kelas dan sering tidak masuk sekolah. Tapi, beberapa bulan belakangan ini, ia terlihat ceria kembali.
Tania berlari ke arahku sambil membawa tasnya, "Selamat pagi, kawan" sapanya dengan semringah. "Kenapa kamu senang sekali?" Tanyaku heran saat ia berjalan di sisiku. "Tidak ada" Jawabnya sambil tersenyum - senyum. Aku kagum padanya, padahal mamanya sedang sakit keras, tapi ia bisa ceria seperti ini.