Pagi kembali menghela napas. Malam tadi telah terbakar lentera surya. Angin pagi masuk ke tubuh Dewa menembus dari tembok kardus yang dingin tertampar embun. Dia pun bangun, duduk setengah badan, menggigil kedinginan. Sejenak dia mengedip-ngedipkan matanya untuk menetralisir perasaannya. Sekujur badanya, luar dalam terasa diamuk khodam malaikat. Rasanya perih, sakit, ngilu, berat, panas, oh semuanya campur aduk menjadi satu adonan derita kelemahan Dewa. Sesekali dia memutar kepalanya, mengamati sekeliling tubuhnya.
Intan, Ovan, Caca, Agus dan lelaki berambut landak tidur di atas tanah. Caca dipeluk oleh Intan, sementara lelaki itu, Agus dan, Ovan terlentang di samping Intan. Ke semuanya berjejer seperti ikan pindang yang sedang berjemur. Kain sarung robek sebagai alas, karung berisi sampah adalah bantal. Selimutnya ada yang menggunakan kardus, ada pula yang memakai sarung robek. Tidak ada lampu di dalam rumah derita itu, jika malam pun kegelapan mengabuti mereka. Selimut yang tipis berbahan kain sarung itu tertarik ke sana kemari. Kasihan! Sungguh malang nasib anak jalanan.
Dewa menggagapi sekitar. Kamera digitalnya dia cari-cari. Ternyata tidak ada di sisinya. Dia pun akhirnya berusaha untuk beranjak. Disibaknya kelambu kusam yang digunakan sebagai pintu rumah tersebut. Angin menembus melalui pintu itu, hingga tubuhnya terlontang-lantung masuk ke dalam. Kain itu hanya diikat pada ujung atap rumah tersebut.
Dewa sudah tak sempat mengingat kejadian pengeroyokan tubuhnya kemarin. Melihat penderitaan mereka semuanya lebih menyakitkan ketimbang dikeroyok warga. Luka itu bisa sembuh, bagaimana dengan derita kemiskinan yang menjalar di negeri Indonesia ini? Setiap tahun bukannya berkurang, malah bertambah. Beda halnya dengan luka akibat tamparan atau pun pukulan, dua, tiga hari, seminggu, dua minggu, atau satu bulan, bisa langsung sembuh, kalau tidak ya dibawa ke rumah sakit. Lantas bagaimana penanganan dari kemiskinan? Banyak anak terlantar di jalanan, pengangguran pada kluyuran, menurut Dewa semua itu karena sebab lapangan pekerjaan yang katanya sudah disediakan melimpah oleh pemerintah tiada bukti.
Dewa menghirup udara lepas. Dia menuntun langkahnya yang tertatih menuju pinggiran sungai yang kaya akan sampah dan limbah, warnanya hijau pekat. Ada bau amis yang tercium ke dua lubang hidungnya. Sungai itu memanjang di tepi perumahan kardus dan perumahan penduduk yang kumuh. Ada jembatan penghubung perkampungan seberang. Di samping jembatan itu berdiri satu pohon mangga yang semu buahnya. Derap kakinya dituntun ke sana. Dia duduk di bawah dedaunan mangga, mengamati sungai yang nampak melas itu. Andai saja kameranya tidak hilang, pasti sudahlah dia abadikan kisah pahit sungai itu di dalam fotonya.
Kepalanya masih terasa pening. Badannya seolah benar-benar rontok. Apalagi bagian ulu hatinya, sakitnya minta ampun. Tukang becak sialan kemarin, menonjok perutnya amat keras. Coba kalau dia di rumah pasti sudah dilarikan ke rumah sakit ditusuk jarum infus untuk mengurangi penderitaan. Tapi bagaimana caranya dia pulang? Sementara untuk melangkah saja pincang, tak mungkin toh menggayuh sepeda sampai kampung Kaliangkrik. Mana kuat, apalagi jaraknya tidak bisa dikata dekat, kurang lebih perjalanan dua jam. Dewa ... Dewa coba kemarin dia pakai motor. Mungkin pagi itu dia bisa kembali pulang, merebahkan tubuhnya di atas kasur tua.
"Oh ... malang sekali nasib warga di sini," celotehnya ketika melihat seorang ibu-ibu renta menggendong ceting yang berisi pakaian kotor. Dia lalu menceburkan diri ke dalam sungai untuk mencuci pakaian tersebut. Busa menggelembung di sekitar tubuh ibu-ibu itu.
"Apa tidak gatal ya? Sementara banyak sampah yang berjalan mengikuti aliran sungai itu." Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Untunglah, di kampungku masih ada sumber air jernih tak seburuk di sini, nampak mengerikan lagi jika hidup di perumahan kumuh Jakarta, oh Tuhan!" jerit Dewa dengan hati miris. "Ingin sekali aku membantu mereka, tapi apalah dayaku?" Dewa terus melontar kalimat bersaksi pohon mangga yang disandari tubuhnya itu.
"Semuanya sudah takdir." Ada suara di belakangnya. Dia pun memutar lehernya untuk menoleh.
"Ketentuan Tuhan nampaknya tak bisa diganggugugat, arus kehidupanku seperti sungai bau busuk ini, yang kelak akan bermuara di samudera. Dan tentunya menurutku itu indah," cerocos gadis dengan rok kebaya seperti kemarin. Ternyata Intan telah berdiri di belakang tubuhnya. Dia lalu duduk di sebelah Dewa.
"Kau ... sejak kapan kau bangun?" Dewa nampak cangung dengan hadirnya gadis itu.
"Aku bangun ketika kamu membuka pintu kelambu, kenalkan namaku Intan, yang kemarin berbicara denganmu itu Ovan, sampingku Agus, dan yang kecil Caca, kamu?" dia mengulurkan tangan untuk dijabat dalam perkenalan.
"Aku Dewa," responnya sambil membalas uluran tangan Intan. Sejenak mereka saling beradu pandang sementara tangan berjabatan. Senyum dari wajah kusam Intan mekar. Dewa pun tak mau kalah saingan, walau bibirnya masih dirasa perih, akibat amukan warga kemarin.
"Kau nampaknya anak yang baik," kata Intan dengan nada datar. Dia lalu memalingkan pandangannya dari wajah Dewa. Lensanya menatap lurus ke depan.
"Aku lebih buruk daripada kalian." Dewa merendah, "oh ya, dari mana kamu bisa berkata bahwa muara sungai ini indah," dia mengembalikan topik pembicaraan.
"Yah karena aku suka lautan, setiap sungai kelak akan bermuara di lautan yang luas, sampah-sampah yang tadinya berserakan nampaknya akan lenyap, entah dibawa ke mana. Sungai yang hijau busuk, akan berubah di laut menjadi biru menyejukkan pandangan," pendapat Intan dengan mata yang berbinar-binar.
"Aku tak mengerti maksudmu, Intan. Menurutku jika dari asalnya sudah membawa sampah, di muaranya pun malah akan mengendap menjadi tumpukan sampah ..." sanggah Dewa.
"Apakah kau pernah melihat endapan sampah di lautan?"
Dewa menggeleng.
"Itulah kehidupan sungai, dari hal yang buruk menjadi keindahan. Seperti hidupku dan kawan-kawan kelak nanti, pasti akan indah ...," katanya menggantungkan kalimatnya. Sejenak dia menatap langit.
"Kenapa kamu bilang seperti itu Intan?"
"Jika kelak kami sudah abadi di sana!" jeritnya seraya menunjuk angkasa yang membiru.
Dewa semakin bingung dengan ucapan gadis yang usianya di bawah umurnya.
"Kok begitu?" Dewa mengerlingkan matanya heran, sambil ikut menatap langit datar.
"Ketika kami mati, kami akan masuk syurga. Di dunia ini kami sudah menderita karena diterlantarkan negara, sebab mereka yang korupsi uang-uang rakyat, hingga akhirnya pembangunan dan sosialisasi tidak merata. Mereka akan dibakar hangus di neraka, sementara kami akan meledek dan mencaci mereka dari syurga. Aku sudah tak sabar menanti hal itu ..." terang Intan panjang lebar.
Dewa tak tahu mau menaggapi dengan kata apa. Kalimat yang baru diucap Intan, nyaris membuat jantungnya akan copot. Tajam bak belati samurai.
"Orang kaya pun sama halnya dengan pemerintah! Yang suka korupsi uang perusahaan, yang bertindak sewenang-wenang kepada karyawan dan yang menggusur tempat tinggal kami! Kami benciiiii merekaaaa ... benciiiii!!!" satu butir menetes di pipi Intan.
Napas Dewa seolah terhenti di kerongkongan. Kalimat Intan begitu tajam dan melecehkan pemerintah. Dari mana anak jalan yang tak memakan bangku sekolah itu bisa berbicara seperti itu? Dewa kagum dan takjub. Andai saja dia membawa hapenya, pasti suara Intan telah direkam. Kalimat-kalimat Intan indah namun mengiris batin. Dewa sendiri seolah tersindir. Bagaimana tidak? Ibunya saja dulu sering menelantarkan anak-anak jalanan.
"Kam ... kam ... kamu ... ya ... yang ... sab ... bar ... kelak Tuhan akan memberikan balasan yang setimpal!" katanya asal. Dalam hati dia menggumam. 'Tapi jangan dengan Ibuku, beri saja dia kesadaran,"
"Kak Intaaaannn!!!" panggil Caca yang sudah berdiri di belakang mereka membawa bola.