Dewa

Titin Widyawati
Chapter #4

Hampa

Pagi menyeruak di lembah kaki gunung Sumbing. Simponi kembali menjalar dengan gesekan dedaunan alam. Rangkak kaki telah tertuntun mendaki tanjakan ladang. Atau mereka yang berbondong-bondong memakai seragam pendidikan untuk masa depan. Menatih jejak menuju sekolahan. Ada juga yang berlari mengejar logam ke pasar atau pun pusat pertokoan. Bahan dagangan ditenteng, kertas rupiah dijulurkan, sementara keringat bercucuran.

 Waktu itu Reihan telah siap-siap menggas mobilnya ke Yogyakarta. Jam kuliahnya pukul sembilan esok. Perjalanan hanya membutuhkan waktu dua jam, kalau dia menggas cepat layaknya pembalap, terkadang juga hanya satu jam lewat sedikit. Nyonya Finda membereskan pekerjaan rumah. Menyapu, masak, mencuci piring, dan lain sebagainya. Pagi itu mereka berdua dipersibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga jeritan-jeritan melengking setiap pagi, untuk membangunkan Dewa lenyap seketika. Tak digubris memori hari lain. Seolah kepergian Dewa adalah suatu keberuntungan. Ketika Dewa di rumah, Nyonya Finda selalu dikesalkan untuk membangunkan Dewa yang sulitnya minta ampun. 

 Shubuh telah menggema. Jarum jam terus berputar. Dengkuran Dewa pun tak henti berkumandang. Mentari menyingsingkan lenteranya menembus celah jendela-jendela kamar. Mencoba mengusik ketentraman mimpi Dewa. Sayang usaha alam tetap tak membuahkan hasil. Dengan emosi yang menggebu Nyonya Finda menggedor-gedor pintu kamar Dewa. 

 "Dewa! Bangun! Sekolah!" jerit beliau.

 Tak ada jawaban dari dalam.

 "Dewa ... cepetan bangun ibu sudah mau berangkat ke Semarang."

 Nyonya Finda ingin mengontrol usaha butiknya di sana. Biasanya setiap hari Jumat dan Sabtu. 

 "Astaga! Dewa! Bangun!" teriaknya sambil mengeraskan ketukan pintunya. 

 Dewa yang masih berbalut selimut tebal pun menguap lebar. Pagi-pagi sudah ribut, berisik. Keluhnya sambil menyampar sendal jepit di lantainya. Usai bangun dia langsung beranjak. Melipat selimut dan merapikan sepray.

 "Dewa, bangun!" 

 Dewa tak menjawab, dia melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, oh tidak sebentar lagi dia akan terlambat masuk sekolah. Dari pada terlambat kena hukuman, lebih baik tidak sekolah saja. Dia mencari akal cerdik untuk mengelabuhi Nyonya Finda agar mau membuatkannya surat izin. Sejenak matanya tertuju ke arah dispenser yang terletak di atas meja, samping kanan pintu. Dia menyalakan dispensernya. Lalu melarutkan segelas air hangat. Gelas itu kemudian ditempelkan ke jidad dan pipinya, niatnya biar badannya terkesan panas. 

 "Dewa!" teriakan Nyonya Finda lebih keras dari sebelumnya. Dewa pun terperanjat kaget. Nyaris tumpah air panas di dalam gelas yang digenggamnya. 

 "Kayaknya Ibu kalau disuruh lomba berteriak tingkat dunia, dia bakal jadi juaranya," batinnya dalam hati, seraya menempelkan tubuh gelas itu ke pipinya lagi. Usainya tangan, perut, dan badannya. Sejenak badannya sedikit terasa panas dan menjinggat-jinggat berusaha menghindari sentuhan dengan gelas tersebut. Tapi ... harus dia lakukan atau tidak dia akan dihajar hukuman oleh Pak Gilang yang menyeramkan. 

 "Dewa!" Nyonya Finda nampaknya sudah lelah berteriak. Pita suara tersedak lemah. Walaupun begitu gedorannya tetap lantang, hingga mampu membuat gendang telinga Dewa jebol.

 "Bangun! Sudah pukul tujuh." 

 "Dewa juga tahu kali," gumamnya lirih sambil cengar-cengir. Dia mematikan dispensernya, lalu meletakkan gelas itu di atas meja, tepatnya di depan moncong krans dispenser. Dia sudah siap dengan aktingnya. 

 Perlahan, namun pasti diputar kenop pintu usai memutar gagang kunci. Dewa memasang wajah lesu, dengan berpura-pura batuk.

 "Uhuk ... uhuk ... Dewa pusing, Bu," keluh Dewa. 

 Nyonya Finda menggeleng-gelengkan kepalanya. Meletakkan ke dua tangannya di pinggang dengan tatapan muram. 

 "Pusing? Atau alasan tidak mau sekolah? Hah?

 "Uhuk ... uhuk ... Dewa pusing banget, Bu. Dewa demam." 

 "Ah masa bodo! Cepetan mandi lalu sekolah!" bentak Nyonya Finda yang sudah terlanjur kesal.

 Nyonya Finda lalu menarik kaos abu-abu Dewa bagian lehernya. Dengan kasar beliau menuntun Dewa ke kamar mandi. Dewa berpura-pura lemas. Dia seolah melangkah sempoyongan. Wajahnya ditambah lesu. 

 "Uhuk ... uhuk ... uhuk ... uhuk ...." Dewa terus berakting. Kali ini hati Nyonya Finda terenyuh. Beliau iba melihat wajah putranya yang lesu. Sejenak ditempelkan tangan beliau ke jidad Dewa. Jantung Dewa berdentum kencang. Napasnya seolah akan berhenti berembus. Kalau panasnya sampai sudah hilang, Nyonya Finda bisa tahu kalau dia berbohong. So ... dia akan digampar karena telah menipu. 

 "Semoga panas ... semoga panas," batin Dewa.

 "Badan kamu panas, yasudah kalau begitu kamu istirahat saja di rumah. Ibu mau ke Semarang. Pulangnya paling nanti sore." 

 Nyonya Finda lalu menuntun Dewa masuk ke kamarnya lagi. Beliau membantu merebahkan tubuh Dewa serta menyelimutinya dengan ketulusan. 

 "Makanya jadi anak itu jangan nakal. Kalau begini siapa yang repot?" gerutu beliau.

 "Uhuk ... uhuk ...." Dewa malah semakin bertingkah.

 "Yasudah, kamu istirahat saja, nanti ibu buatkan surat izin," kata Nyonya Finda perhatian. 

 Dalam hati Dewa menjerit, "hore!" 

 Sejahat-jahatnya seorang ibu. Tak akan pernah rela dia menelantarkan buah hatinya yang sembilan bulan di kandung. Amarah dan emosi dia adalah bukti kasih sayang dan kecintaan. Mau itu penjahat kakap pun, nurani keibuan akan tetap ada. Dia akan berusaha sekeras mungkin untuk memberikan hal yang terbaik untuk anaknya. 

 Tidak ada ibu yang pelit terhadap sang buah hati. Mereka sesungguhnya lebih pandai mengolah uang untuk masa depan putra-putrinya. Tak sedikit seorang ibu yang mengorbankan segala-galanya demi pendidikan anaknya. Menjual perhiasannya, benda berharganya, tenaganya, bahkan ada pula yang sampai kehormatannya demi mencukupi kebutuhan sang anak. Watak keras yang terlahir dari sosok ibu, hanya karena mereka kelelahan. Dan asal Anda tahu, di balik kekasaran mereka tak jarang ibu-ibu yang berpeluh di balik tirai ceria. 'Kenapa aku menampar anakku, kenapa aku berkata kasar kepada anakku?' Pahami realita dan kau akan menuai arti kehidupan yang selayaknya. 

 "Ibu, maafkan Dewa!" Dewa terharu dengan sikap orangtuanya.  

 "Kelak Dewa akan menjadi bintang untuk Ibu." 

 Dewa yang konyol dan pemalas itu, menyesali perbuatannya. Tak disangka ibunya yang dianggap menyebalkan bisa luluh lantah seperti itu. 

 "Ah ... tapi tetap saja kalau Ibu masih pelit, aku sebal." Mendadak rasa harunya lenyap. 

 Setelah pekerjaan rumah Nyonya Finda selesai semua. Beliau lalu mandi dan merias diri. Kebetulan kamar beliau bersebelahan dengan kamar Dewa. Milik Dewa ada di pojok sendiri. Di tengahnya kamar beliau, sementara sampingnya lagi adalah kamar Reihan, dan di ujung kanan kamar Reihan adalah kamar mandi khusus Dewa. Ketika akan turun menjejaki tangga, Nyonya Finda melirik ke pintu kamar Dewa. Sunyi, hampa, tiada jeritan yang terlontar seperti dahulu. Beliau lalu membalik tubuhnya mendekati pintu itu. 

 "Dewa, kau memang anak menyebalkan, tapi di manakah kamu sekarang? Sekesal-kesalnya ibu, ibu juga berharap kebaikan untukmu, maafkan ibu yang selalu memarahimu karena kemalasanmu. Ibu hanya ingin kau menjadi anak rajin layaknya kakakmu yang pandai dan bernilai tinggi," curhatnya kepada tubuh pintu cokelat itu. Beliau lalu membuka pintunya perlahan. Mengintip isi ruangan tersebut.

 "Ruangan yang tua," gumamnya sembari melempar pandang ke poster-poster anak jalanan. Entah setan apa yang mendadak membuat amarahnya mendidih. Poster itu menunjukkan kalau Dewa tak berpendidikan. Pantas saja kalau selama ini hidupnya awut-awutan dan pandai bermalas-malasan. 

 "Dewa, ibu kecewa!" Beliau lalu membanting pintu kamar dengan kasar. Langkah kaki dituntun cepat menuruni tangga. Rasa kecewanya kepada Dewa amatlah dalam. Memalukan sekali, selama ini beliau sudah bekerja keras membanting tulang demi kelayakan hidup seorang anak. Eh ... apa hasilnya? Dewa anak terakhirnya malah bergaul salah kaprah. Pokoknya jika Dewa pulang, jangan harap beliau mau memberi ampun. Didikannya akan lebih diperkeras. Beliau tak akan pernah rela kalau Dewa bermain dengan anak jalanan lagi. 

   ***

 Suasana sekolah SMA Satu Magelang kembali ramai seperti semula. Wajah siswa saling memancarkan keceriaan. Ada yang mengerjakan piket pagi untuk mengusir debu-debu. Ada pula, yang baru saja datang menenteng tas yang beratnya tak ada satu kilogram. Koridor sekolah bising akan suara pijakan kaki dan obrolan pagi. 

 Chika yang telah duduk di atas bangku kayu panjang, mematung di samping mulut pintu kelasnya. Ya, di sana ada bangku yang sering digunakan untuk istirahat anak-anak. Kepala Chika celingukan ke sana kemari. Dia sedang mencari sosok menyebalkan yang tak kunjung datang. 

 Setengah jam lebih Chika menunggu. Sayang yang ditunggu tak mengerti jua. Chika akhirnya masuk ke dalam kelas. Dia duduk di samping bangku Dendi dengan wajah yang ditekuk. 

 "Apa mungkin Dewa diculik?" desah Chika pilu.

 "Hahaha ... kamu kangen ya sama dia? Baru juga sehari nggak ada kabar sudah murung begitu," ledek Dendi seraya menjawil dagu Chika.

 "Ih nyebelin!" gerutu Chika kesal. "Bukan begitu juga kali, tapi kalau nggak ada Dewa aku nanti gangguin siapa?" keluh Chika dengan tatapan murung. Mereka lalu masuk ke dalam kelas. Obrolan masih melayang dalam perjalanan hingga mereka duduk di kursi. 

 "Iya juga ya, anak itu kemana sih? Perasaan kalau dia pergi kita selalu dikasih kabar. Kok sekarang ngilang ketelan Bumi gitu aja," seloroh Dendi. 

 "Sahabat kita yang satu itu memang menyebalkan," celoteh Chika.

 "Biasanya kalau pagi aku sudah jahilin dia, tapi serasa sunyi juga kalau dia nggak berangkat sekolah," sahut Dendi.

Lihat selengkapnya