Derap lentera telah menaungi ratapan kehidupan dunia. Langit menyembulkan bola pijar panas berwarna orange, membuat warna keemasan berpadu merah dan kuning tajam. Tirai langit memberi jalan kepada sang awan yang ingin merombak kecerahan. Kabut pun enggan menyapa. Kicauan burung berendar, mengepakkan sayapnya yang memelok retina. Dedaunan akasia, cemara, dan jati serta lainnya, yang tumbuh di sederet jalan pegunungan itu membuahkan gesekan simponi alam dengan angin. Membentang luas lahan hijau, yang kaya akan tanaman pencernaan. Nampak satu burung Elang menari-nari di angkasa bebas. Sementara segerombol burung camar bertengger di ranting-ranting pohon, atau melamun di kabel-kabel listrik yang mengular di sepanjang jalan. Penduduk telah terbangun dari balutan hangat tabir mimpinya. Derap kaki telah ada yang dituntun ke sawah, ada pula yang dituntun ke pasar, atau sekedar jalan-jalan. Namun tidak dengan DIA.
Dia lelaki rupawan yang menganggap dirinya buruk rupa. Dia lelaki baik hati yang tengah dilanda gulana. Setiap keluarga memandangnya dengan muram. Tak pernah terbesit satu kata pun untuk menyunggingkan bibirnya dari mereka. Sering yang terlontar hanya cacian dan makian.
"Anak bodoh, mau jadi apa kau? Kalau setiap hari hanya bermalas-malasan seperti itu?" hardik kakaknya yang kini telah menjadi mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM). Dia pun hanya mengerlingkan matanya acuh, lalu membanting daun pintu.
"Tak akan pernah ada cinta yang menyapa jika kau seperti ini terus-terusan! Dunia ini sudah gila, semua perempuan membutuhkan kebahagiaan dengan uang! Kau harus bekerja rajin mulai sekarang dengan cara meningkatkan prestasimu!" sambung bibi muda, yang rumahnya hanya bersebelahan dengannya.
Jangan dikira tak ada cinta yang melambai. Dia saja yang tak mau tahu.
Kali ini, dia meratap di atas tumpukan kapas lapuk. Kasur tua itu telah rapuh termakan usia, sepray yang menyelimutinya sudah lama tak pernah dicuci. Setiap sisi ranjang yang memangku kasur itu telah mengeropos, bahkan terkadang ada rayap yang nampak menikmati kayu tua itu. Plafon rumahnya sudah mengusam. Dinding temboknya berlapis cat cokelat. Di samping kanan ranjangnya berdiri meja belajar tanpa kursi, hanya dengan selembar tikar sederhana di lantai, sementara di atas mejanya lampu jamur yang sudah tua. Jika dia ingin menuangkan emosi ke dalam kata, dia pun melembar tikarnya, usainya dia akan menggulungnya kembali.
"Dewa! Ganti perabotan kamarmu yang sudah tua," kata kakaknya suatu hari.
"Buat apa diganti, ini masih bisa dipakai kok," dia berkata dengan nada datar tanpa ekspresi.
"Tapi itu jelek dan banyak rayapnya!" kakaknya tak mau menyerah.
"Beruntung aku bisa tinggal di rumah seperti ini, daripada anak jalanan yang beratap langit, beralas Bumi." Jawabnya lagi dengan santai.
"Dewaaaa!!!!! Capai kakak ngomong sama kamu!" ketus kakaknya sambil membanting pintu kamar dia yang sudah tua.