Dewa dan Mawar Layu

Titin Widyawati
Chapter #2

Salah Tangkap

Reihan duduk menatap layar teve di dalam kamarnya. Di depannya ada satu toples camilan gurih. Sementara tangan kanannya memegang soft drink. Kamarnya lebih anggun daripada miliknya Dewa. Ranjang dengan sofa setinggi seratus limapuluh centimeter, sepray abu-abu bermotif kotak-kotak dengan lukisan bola. Dinding bercat putih bersih dengan tempelan poster gadis-gadis cantik. Meja belajar yang dilengkapi dengan rak buku. Karpet permadani melembar di depan ranjangnya, yang setiap kau menginjaknya kakimu akan tenggelam dalam bulu-bulu hangat beberapa centi. Dia duduk di permadani tersebut sambil melihat teve chanel SCTV acara inbox kesukaannya. Setumpuk kaset tertata rapi di samping teve itu. Ada DVD player dan speaker besar yang sering disambungkan ke laptop untuk memutar musik kesukaannya.

Sesekali dia menyeret layar tabletnya, memeriksa apakah ada gadis jelia yang mengirimnya pesan walau sekedar untuk mengajaknya jalan di hari santai, atau mengajaknya chatting. Setiap libur memang banyak perempuan seksi yang mengajaknya keluar. Siapa pula tak terpana melihat ketampanan dan kekayaan Reihan? Hanya orang baik-baik saja mungkin yang tak bertekuk lutut. Setiap minggu hampir ada perempuan yang menembak dan diputuskannya. Perempuannya pun semuanya berkelas. Tak ada yang miskin apalagi kampungan. Namun sama sekali tak ada perasaan terhadap mereka, kecuali satu gadis yang bernama Adelia. Sayang gadis itu sulit ditakhlukkan.

Reihan adalah anak kesayangan. Dia tak pernah mendapat teguran apalagi tamparan, dengan alasan dia jarang di rumah kecuali hari Minggu dan Sabtu. Nilai-nilainya selalu melonjak tinggi, itulah yang membuat dirinya menjadi anak kesayangan. Sementara Dewa selalu menjadi bahan bual-bualan amarah ibunya. Lantaran nilainya jarang memelok mata, ditambah pekerjaannya hanya kluyuran dan melamun di kamar saja. Rajin dia membolos, apalagi melanggar aturan sekolah! Itu sudah menjadi kewajiban baginya.

Dulu sewaktu detak jantung ayahnya masih berdentum. Dewa tak semenderita ini, selalu ada yang membela kemalasannya.

"Setiap orang itu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mungkin Dewa seperti ini, karena ada hal yang dipikirkannya. Kalian seharusnya menanggapi dengan bijak! Jangan malah membuatnya tertekan! Nantinya dia malah bisa berontak! Coba tanyalah apa yang membuatnya sering bermalas-malasan dan melamun di kamar." Kata ayahnya dulu sewaktu dia dimarahi oleh ibunya. Lantaran dia membolos sekolah.

"Kau ini selalu membela anakmu yang pemalas,"

"Bukan begitu! Tapi kita sebagai orangtua seharusnya bisa bertindak dengan benar!"

"Ah entahlah! Aku malas ngurusi anak kamu yang satu itu," gerutu ibunya kesal lalu masuk ke dapur.

"Memangnya apa yang kamu pikirkan, Dewa?" ayahnya membuka hati untuk mau mendengarkan keluh kesah dirinya.

"Malas sekolah, Dewa suka alam luar! Dewa sama sekali tak menginginkan bangku sekolah! Melihat anak-anak suka facebookan di kolong meja, atau tidur-tiduran ketika pelajaran berlangsung! Membuat emosi Dewa mendidih. Entah mengapa sebab itu, Dewa tak suka pelajaran sekolah. Dewa lebih suka belajar dengan anak-anak yang semangatnya berkobar! Seperti anak jalanan yang tidak mampu duduk sejajar dengan Dewa. Dewa mencintai mereka ayah! Dewa belajar dengan mereka." Terang Dewa dengan kepala menunduk. Beliau pun membelai ubun-ubunnya seraya berkata,

"Ayah bangga dengan jalan pikirmu! Kalau begitu ayah percaya kau bukanlah anak pemalas! Ayah izinkan kamu melangkah sesuai jalan yang dikehendaki hatimu. Tidak perlu dengan prestasi yang memelok mata! Buatlah mereka sadar diri akan pentingnya belajar." Kata beliau dengan bijak. "Memangnya apa cita-citamu?"

"Dewa ingin hidup dengan anak jalanan, Ayah! Dewa ingin makan bersama mereka, Dewa ingin belajar dengan mereka."

"Itu bukan cita-cita! Tapi ayah harap kamu bisa menjadi contoh yang baik untuk mereka."

"Apa? Jadi cita-cita kamu mau jadi anak jalanan? Memalukan!" hardik Reihan yang mendengar obrolan mereka dari ruang tengah.

°°°°°°

Usai mandi dan merapikan kamarnya, dia pergi untuk menemui ibunya. Sepeda polygon yang berlapis cat hitam itu diobelnya dengan membara. Jalan raya telah dipadati ribuan kendaraan berasap polusi. Hidungnya dibungkus masker hijau muda, seperti miliknya korban bencana Merapi. Derap laju orang penggiur ekonomi telah tertopang di sederet jalan trotoar. Sesekali Dewa melirik ke kanan dan ke kiri ketika berhenti di lampu merah. Jika ada pengemis yang menjulurkan tangannya ke atas. Dia pun membagi koin-koin rupiah yang dibawanya dari rumah.

Jarak antara rumah dan toko ibunya bisa dikata tidak dekat. Dari kampung harus menyebrang gang demi gang untuk sampai ke jalan raya. Melewati pasar Kaliangkrik, pasar Beseran, dan pasar Bandongan, baru sampai ke keramaian kota yang kaya akan lampu merah. Itu memerlukan waktu lebih dari DUA JAM bersepeda. Bayangkan! Dua jam!!! Belum lagi jalannya yang naik turun, bagi dirimu pasti tak kuat, tapi untuk Dewa itu hal yang biasa. Dewa memang selalu pintar membuat ibundanya jengkel. Sesampainya di sana pasti tokonya mulai sepi dan bantuan jasanya pun sudah tak berarti. Sekali lagi anak itu hanya meringis tanpa merasa telah mengemban dosa. Dan tentunya ocehan ibunya mampu mengalahkan burung Beo milik tetangga.

Kini dia berdiri di pertigaan lampu merah kota. Jika belok ke kiri itu berarti ke toko ibunya, ke kanan ke komplek perumahan kumuh, lurus ke alun-alun Magelang. Sebelum lampu hijau menyala, dia pun menimang-nimang pemikirannya. 'Haruskah aku ke toko Ibu? Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 14:00 WIB. Pasti toko sudah sepi, toh Ibu juga punya tiga karyawan,' dia mengangguk-anggukkan kepalanya dan akhirnya belok ke kanan. 'Maafkan aku Ibu, rasanya aku butuh pengalaman baru tentang kehidupan sosial'.

Keringat telah bercucuran hingga menetes ke Bumi. Bajunya yang tadinya kering, kini basah mengumbar aroma busuk. Letih mendekap raganya. Kamera digital yang dikalungkan di lehernya digapainya sejenak. Kilatan blitz kameranya menyambar-nyambar aliran sungai itu. Dewa kembali memasang matanya di jendela bidik, sambil memencet tombol shutter. Cekreeekkk..sekali lagi dia berpose untuk mengambil gambar perumahan di samping sungai yang airnya berwarna hijau tua dan keruh. Beberapa sampah plastik mengapung di atasnya. Dewa hanya menggeleng-geleng pilu. Inikah negeriku yang kaya akan bahan pangan? Memalukan! Jerit batinnya.

Dewa memarkir sepedanya di pinggiran jalan. Dia berdiri menjaring pandangan ke sekitar. Ada pusat rumah kardus yang terletak di sebelah Utara dia berdiri. Di sana beberapa anak sedang berlari-lari kecil saling mengejar dengan kecerian. Nampaknya anak itu sedang bermain-main. Hal itu menggoda Dewa untuk memeta jejak di atas lahan itu. Dia pun berjalan ke arah mereka sambil menuntun sepedanya di sebelah kiri.

"Halo adik-adik!" sapanya dengan senyuman madu. Kali ini sepedanya diparkir di samping rumah kardus yang tingginya hampir sama dengan ketinggian tubuhnya.

"Apa lo ke sini! Orang kaya tidak boleh melewati kawasan kami!" sahut pemuda paling tinggi di antara mereka. Ada enam anak kecil kira-kira umur lima tahun, dan tiga anak seumuran SMP, sementara yang sedang berbicara itu kurang lebih seumuran Dewa. Wajah yang mengusam tersapu terik mentari bercampur bau amis jarang mandi. Baju yang mereka pakai seadanya, ada yang robek ada pula yang kumal bahkan gegedean. Bibir sekering aspal, rambut acak-acakan. Layaklah mereka disebut gembel. Namun Dewa tak sejahat itu.

"Saya bukan orang kaya, saya orang miskin seperti kalian!" terang Dewa menutupi kebenaran. "Hay adik kecil," sapa Dewa sambil jongkok di hadapan gadis belia yang rambutnya sebahu. Gadis itu berpipi tembem, wajah manis namun kusam, jidadnya ditutupi poni Dora, telinganya tak terhias permata. Mata gadis yang baru berumur lima tahun itu bulat ceria. Anak itu langsung bersembunyi di balik pemuda yang tengah mengatakannya kaya.

"Maaf lo dilarang ke sini, pulanglah sana ke rumah lo! Orang kaya hanya akan mengusik ketenangan jiwa kami. Rumah yang telah lama kami bangun akan digusur untuk dibangun gedung-gedung pencakar langit, atau dibuat jalan mobil-mobil mewah," bentak pemuda itu dengan tatapan garang. Anak kecil yang tadi disapa Dewa memegangi celana kebesaran pemuda itu. Kalimat yang baru saja terlontar membuat hati Dewa miris. Rasanya sakit sekali. Hal itu mengingatkan kepada kejadian tiga tahun silam.

Kala itu dia diajak ibunya ke Semarang untuk melihat lahan butiknya yang akan segera dibangun. Awalnya lahan itu ditempati puluhan gelandangan. Karena tanah itu telah sah menjadi milik ibunya, mereka pun diusir dengan cacian tak luput dari bentakan. Ada sedikit perasaan iba kala dia menatap segerombol gelandangan yang ditendang-tendang tanpa hati, oleh karyawan suruhan ibunya. Tak dirasa satu butir airmata merembas menghujam sukmanya.

Dewa memang laki-laki. Namun entahlah, hatinya terluka jika melihat kaum bawah diinjak-injak tanpa hormat. Ingin rasanya dia menghajar orang tak berakhlak yang memperlakukan mereka layaknya binatang. Indonesia yang kaya akan rempah-rempah masih saja banyak orang miskin yang dilantarkan oleh pemerintah. Hak asasi manusia dikata telah dijunjung, namun perlakuan seperti Babi dan Anjing sering tercolok mata Dewa. Apa arti kehidupan ini? Di mana jati diri bangsa selama ini? Oh Tuhan! lebih menyakitkan lagi, ternyata ibunya juga sama halnya dengan orang yang tak berperi kemanusiaan. Seenaknya saja menyuruh para gelandang pergi dengan umpatan dan makian.

"Gelandang busuk! Pengamen jalanan yang tak pernah mandi, dan pengemis-pengemis memelas. Pergiii! Lahan ini akan saya bangun menjadi toko butik saya. Sampai saya lihat ada kalian di sini lagi, jangan harap saya akan berbaik hati kepada kalian!" bentak ibunya.

Mereka pun lari terbirit-birit dengan tatapan muram. Ada yang menangis karena ditendang, ada yang bersujud meminta harapan, supaya lahan yang selama itu menjadi tempat tinggal mereka tak digusur. Sayang permintaan itu sama sekali tak digagas oleh ibunya.

"Saya hanya ingin bermain dengan kalian, baiklah jika kalian melarang. Permisi!"

Lihat selengkapnya