DEWA

deffa maharani putri
Chapter #2

SATU

Hari ini nilai ujian keluar, aku melangkah cepat menuju mading. Tempat dimana kertas penentuan itu berada, aku harus menjadi nomor satu lagi jika ingin pergi. Dua tahun lebih, dan kurasa aku cukup baik menghindari masalah yang ada. Yang kumaksud adalah, menghindari anak tidak tau aturan, atau berteman dengan manusia penuh pelanggaran. Aku pemilih dalam berteman, dia harus anak baik, harus pintar , kriteria penjauhan masalah. Tapi justru lebih condong tidak punya teman, makanya selalu sendirian.

Pemandangan yang kulihat di Mading tidak seperti biasanya, jika biasanya ramai hingga harus menunggu kosong, kali ini aku bisa leluasa melihat karna tidak ada satu orang pun disana. Senyumku semakin lebar terpapar, seraya menghembuskan nafas. Semoga hasilnya sama. Jariku menyapu barisan nama dari bawah ke paling atas. Aku tersenyum puas ketika lagi-lagi namaku ada di urutan nomor satu. Beberapa bulan lagi menuju kelulusan, aku harus bisa mempertahankan prestasiku. 

Tapi, tidak lama setelah itu senyumku mulai luntur ketika merasakan rangkulan dibahu, mataku menatap sinis saat tau siapa itu. Dia mencari namanya, yang sudah pasti ada di urutan paling bawah, aku berani bertaruh.

”Akhirnya, nilai gue naik dua tingkat.” 

Dahiku menyirit bingung, ikut menyapu namanya, tertawa dalam hati ketika dia hanya naik dari peringkat 119 jadi 117. Apa yang naik? Paling hanya angka di belakang nilai bertambah tiga angka. Aku melepas rangkulan itu kasar, membuatnya menoleh padaku dengan senyuman. 

”Selamat ya, Kamu peringkat 1 lagi,” katanya riang. 

Kutatap dia datar. “Jangan nganggu gue Devan Dewantara!” ucapku tegas, dia mengangkat alisnya seakan ucapanku itu lucu. 

”Gimana mau nggak ganggu, itu sudah tugasku kan,” balasnya seraya tertawa pelan.

Aku berdecak kesal, tanpa banyak bicara lagi berbalik pergi dari sana. Jam pelajaran kali ini kosong, aku tidak tau kenapa yang jelas guru belum masuk kelas. Kubalas dengan senyuman ketika orang-orang menyapaku, tanpa mengindahkan manusia aneh yang terus mengikuti di sebelah. Tapi lama-lama jengah juga, langkahku terhenti. Melihat penampilannya dari ujung kaki sampai ke kepala, bukan anak baik-baik. 

Kusebutkan prestasi Dewa, tawuran setiap minggu, adu tinju dengan anak lain sampai tidak bisa dihitung berapa banyaknya anak yang mengadu, dia juga tidak pernah pakai seragam dengan benar. Tidak pernah pakai gesper, dasi dan topi kalau upacara. Bajunya juga selalu keluar, rambutnya acak-acakan. Jauh dari kata rapih. Dan satu lagi, dia jarang masuk kelas, dan dapat dipastikan tidak pernah belajar. 

”Kenapa harus ngikutin gue sih Wa?!”

Ngomong-ngomong, hanya aku yang panggil dia Dewa, orang-orang biasanya memanggilnya dengan nama Devan, sekalipun ada yang memanggilnya Dewa itu karna mereka mendengar panggilanku untuknya. Dia memang seperti Dewa, tau apa yang sedang kulakukan, dimana aku berada setiap saat, tau apa saja yang kusuka dan tidak, hapal betul dengan segala aktifitasku yang terasa mencekam. Jangan lupa dengan dia yang tiba-tiba tau dimana aku tinggal. Ajaib kan? 

Dewa menggaruk belakang kepala. “Kamu baru nanya sekarang? Aku ikutin kamu kemanapun kan dari setahun lalu Ran.”

Lihat selengkapnya