Ini malam minggu, tidak ada yang spesial yang biasa kulakukan. Semua malam sama saja rasanya, aku tetap harus belajar. Membuka tirai dinding kaca di depaku dan mengeluarkan semua buku yang membuat otak lebih keras bekerja. Semua sudah kukuasai, semuanya telah kupelajari, bahkan aku tidak bisa menghitung pensil dan pulpen yang kuhabiskan untuk mencoret buku belajar selama seminggu. Hanya kuhabiskan untuk itu uang jajanku, tidak ada yang lain selain membayar keperluan isi kepala.
Mulai membenarkan letak kaca mata minus yang turun, tak lupa menggeser trek musik. Musik membuatku fokus, membuatku lebih cepat paham dengan apa yang kupelajari, musik itu segalanya. Itu yang menemaniku belajar selama ini, tidak ada pembantu yang selalu tersedia disini. Hanya ada satu orang yang akan kemari setiap pagi untuk memasak dan membereskan rumah, lalu pergi sebelum aku kembali. Orang suruhan Mama, aku tidak menolak karna memang butuh.
Membereskan apartement bukan kealianku, jadi kuserahkan semuanya ke orang suruhan Mama. Tugasku hanya belajar, dan sekolah. Harusnya bersenang-senang ditambah ke list itu, tapi berhubung aku harus kerja extra untuk membuat semuanya jadi nyata di depanku, aku harus melupakan semuanya dan bergerak maju mencapai impian.
Dahiku berkerut ketika melihat soal yang membuat kepalaku berputar, hingga ujung pensil berpindah ke mulut. Menggigitnya kecil, aku harus menemukan isi dari maksud soal ini. Tanganku mulai mencoret di atas buku, mencari angka yang tepat untuk ini, mencari rumus yang benar untuk soal di dibuku.
Suara bel pintu membuatku melempar pensil begitu saja ke atas meja, aku menggeram. Lagi-lagi bel, sumpah ini sering terjadi. Dan hanya satu pelakunya, orang yang sangat ingin kuhindari, orang yang benar-benar ingin kulenyapkan dari bumi. Aku harus turun dari kursi kebesaranku, berjalan menuju pintu. Menekan layar interkom yang langsung menunjukan wajah menyebalkan Dewa sedang tersenyum.
Aku mulai bergerak membuka pintu, Dewa dengan tampilan rapi untuk ukuran mengantar barang dan langsung pulang. Dia membawa coklat berukuran besar juga boneka, banyak sekali yang seperti ini di unitku. Tolong lah. Aku menatapnya malas, dia benar-benar membuatku hilang akal untuk membuatnya mengerti.
”Aku tau kamu pasti lagi bermain sama anak-anak tersayang kamu, jadi aku beliin coklat sama teddy buat temenin kamu. Aku beliin coklatnya yang low sugar, biar nggak ngalahin manisnya kamu. terus teddy buat pengganti aku yang nggak bisa ada di dalam sana buat nemenin kamu belajar,” ucapnya panjang lebar.
Dewa menyodorkan kedua barang itu padaku. Tau apa yang dia maksud Dengan anak-anak tersayang? Buku. Dia selalu menyebut buku sebagai anakku.
”Dewa udah pernah bilang belum kalo Kamu cantik banget kalo pake kaca mata?” Aku menatapnya tambah malas, dia semakin gilaaa saja.
“Kuncirannya berantakan, mau kubantu benerin?” bahuku luruh.
Aku menerima semuanya, tapi tatapanku tidak berubah sama sekali. “Udah ngomongnya?” tanyaku pada akhirnya.
Dia tersenyum dan itu cukup menganggu. “Kecuali kalo kamu izinin aku masuk, temenin kamu, bikinin kamu kopi atau kita bisa belajar bareng-”
BRAK!
Kututup pintu bahkan sebelum dia menyelesaikan ucapannya, sumpah capek dengar dia ngomong gitu terus. Setiap hari dia pergi ke unitku, repot-repot membelikan semua barang yang tidak penting sama sekali. Aku sempat bingung. Apa dia tidak punya teman? Atau tidak ada kerjaan lain untuk kerjakan hal-hal yang lebih bermakna dari pada ini?