Javana City - 2012
Refleksi bayangan yang terpantul di cermin pada dinding selalu membuatku menunjukkan senyum jelek yang aku anggap tayangan komedi di setiap paginya. Seorang yang dapat dikatakan aneh dan unik ketika melihatnya terbangun, laksana datang dari dunia fantasi dan siap mengobrak-abrik kewarasanmu. Pertama, kamu bisa melihatnya, sepasang mata yang tidak simetris, bagian kanan melotot dan di kiri seperti kelereng dengan bekas jahitan vertikal yang diperoleh dari kenakalan masa SMP. Kedua, bibir tipis yang lebar, seakan menyerupai bekas luka mengerikan yang terkenal bernama seringai chelsea. Ketiga, mungkin ini adalah bagian yang membuatmu mencercaku sebagai orang sinting, namun sejak lahir aku dikaruniai rambut ikal panjang ... yang berwarna pink.
“Ayolah, Dewina Argilma! Kamu ini cantik dan seksi ... menurut Jayen!” pekikku sambil mengacak rambut, mengabaikan pantulan wajahku seraya mengambil handuk berwarna sama pinknya dengan rambut aneh ini, bergegas menuju kamar mandi yang bernuansa .... “Astaga! Siapa lagi yang menghabiskan sabun dan sampo stroberiku?” Padahal aku tinggal sendirian di apartemen jelek ini.
Nada kacau melantun dari siaran radio favoritku, sebuah electronicore yang mengasyikkan. Aku keluar dari kamar mandi sambil berjoget seperti kerasukan makhluk kedua dan menghentakkan kepala kemudian menggeleng kencang sampai pusing, membentuk kipas angin tornado berwarna pink. Aku terhuyung rebah di tempat tidur, masih mengenakan handuk, lalu terlepas.
Distrik Kebun Nipah merupakan distrik sibuk di mana wilayah pemukiman padat penduduk yang menyatu langsung dengan wilayah pertokoan yang mulai ramai membuka pintu sorong di pagi hari. Aku beranjak turun dari kamar apartemen, terletak di lantai lima, koridor lima, kamar nomor lima. Udara berpolusi seketika menyerang indera penciuman, padahal masih pagi. Aku menoleh ke samping, mendapati tatapan sinis yang sudah tiga ratus enam puluh kali mereka lakukan. Lidahku menjulur keluar, bentuk gestur mengusir dari rasa pahit yang kontan ingin ditumpahkan.
Sambil menutup kepala dengan tudung jaket kesayangan (dan lagi-lagi berwarna pink), aku melangkah menyusuri trotoar pejalan kaki (yang sesekali beradu pundak dengan pejalan kaki lain), kemudian merasa kesempitan pada celanaku (berumur tiga tahun sejak dibeli) dan sepatu sniker abu-abu yang minta pensiun (kebetulan saat itu dibeli satu set dengan celana). Perasaan terkadang berkata lain melawan pikiran yang selalu saja mempertahankan sikap hemat yang kelewat batas.
“Kamu tidak bosan sarapan di sini terus, Nak?” ungkap Pak Zimjum, menatapku heran.
“Aku sudah sehati ... sama hot-cow,” kataku mengunyah roti isi daging sapi asap itu. “Bukan sama bapak ya! Lagian hot-cow-nya makin enak, tetap murah, gak seperti yang di sana tuh!”
Pak Zimjun melirik ke penjual kaki lima lain, deretan mi instan gelas, sate bumbu kacang, bubur ayam, dan mereka tidak sesuai isi dompetku. Sebagian menatapku jengkel karena ucapanku yang pedas, tidak sepedas cabe yang mengisi hot-cow di lidahku, mendadak perutku melilit memohon segera ke toilet. Aku berlari masuk ke kantor, bangunan menyerupai gudang berlantai dua.
Tiga jam kemudian, sebuah loker besi lima pintu berwarna pink dilempar jatuh dari jendela lantai lima, persis di dekat ruanganku. Aku beranjak keluar sambil dicengkeram dua satpam, seraya mendorongku keluar ke trotoar jalan di mana loker tersebut mendarat kurang mulus menghantam gerobak jualan Pak Zimjum sampai ringsek. “Dasar king kong, buaya danau, seringila, kecoa toilet, jangkrik! Dasar boss sinting!” teriakku mengeluarkan sumpah serapah, mendongak ke arah jendela di mana laki-laki beraroma tengik berwajah mesum itu memandangiku dengan jijik.
“Dipecat, Nak?” tanya Pak Zimjum dengan ekpresi kaget yang belum pudar.
“Belum kiamat,” kataku, meraih amplop gaji terakhir, lalu memberikannya.