Dewina's Burger

Rezki Kurniawan
Chapter #2

Burger 2 - Sebenarnya Selada Fana: Volume Tiga

Dua tiket bus sudah di tangan. Sebelum matahari terbit pun, kami sudah berada di stasiun bus dengan rute Javana City - Hamparan Buasliar Plain, dan stasiun ini masih sepi. Barang bawaan Jayen tidak begitu banyak, hanya ransel karung tua yang kuduga sudah menemaninya sejak kedatangannya di kota. Sedangkan bawaanku yaitu koper berisi pakaianku dan tas pundak berisi kebutuhan pribadiku sebagai wanita yang terlalu ribet. Kami menyempatkan sarapan di warung nasi goreng yang kebetulan paling cepat buka di antara semua penjaja makanan. Jayen tampak lahap menyantap nasi goreng itu sampai habis tiga piring, terlebih lagi setelah aku bilang kalau nanti aku yang membayarnya.

“Kalian mau liburan, ya?” tanya si penjual, perempuan separuh baya bertubuh kurus saat aku membayar nasi goreng tadi. Matanya menyisir penampilan kami berdua yang tampak nyentrik. Aku mengenakan pakaian yang hampir semuanya berwarna pink, mulai dari kupluk, kaos lengan panjang, sweter lembut yang sengaja aku ikat di pinggang, celana lari, dan sniker dengan hak tinggi.

“Ya, liburan mbak, ke HBP. Jauh dari suntuknya kota,” jawab Jayen, menurunkan tanganku yang hendak membayar, justru dia membayar sarapan tadi. Pemuda gendut ini mengenakan pakaian serba berwarna jingga yang mencolok dan kekanakkan, seperti sweter bergambar kepala beruang yang tampak realistis dan celana kargo kamuflase padang pasir. “Dan, nasi goreng mbak nikmat.”

“Kamu menggoda mbak nasi goreng itu, kan?” tanyaku pada Jayen, mata menyelidik saat kami sudah duduk di dalam bus, meskipun masih menunggu penumpang. “Akuilah saja!”

“Dewi!” seru Jayen menggeleng frutasi, terbukti bahwa aku mudah memancingnya kesal. “Tadi, aku hanya bilang nasi gorengnya nikmat. Memangnya itu ada dalam kamus gombal?”

Aku tertawa namun menutup mulut, Jayen terus mencoba menggelitikku, tapi tanganku tidak berhenti menepis dan membalasnya dengan cubitan yang tidak bisa membuatnya perih. Tidak lama berselang bus menancap gas beranjak pergi meninggalkan stasiun bus berlalu di belakang. Sungguh aku tidak menyangka akan pergi menjauh dari kota, ketika bus melaju di Jembatan Atlanta, melihat kuil kuno di sepanjang tepi pantai Javana Island dan lautan biru yang luas terbentang. Mataku terpaku memandang keluar jendela, Gerbang Batuan Canyon menyambut, bentang alam berupa lengkungan batu yang tercipta karena erosi angin sehingga menjadi gerbang masuk ke Megah Island. Perjalanan menempuh sembillan jam ini membuatku tertidur di bahu Jayen yang tetap terjaga disisiku.

Hamparan Buasliar Plain menyambutku dengan rerumputan hijau dan angkasa biru berpadu sempurna. Mataku membuka sewaktu dikejutkan pemandangan berantakan dan ramainya manusia di sebuah pasar rakyat sekaligus stasiun bus di desa kecil ini. Kendaraan bermotor hasil modifikasi, para pedagang yang berseru pada pembeli, sampai kesibukan yang tidak jauh berbeda dengan Javana City. Bahuku merosot setelah turun dari bus seiring Jayen menggenggam tanganku. Aku menatap sekeliling dan imajinasiku luntur membayangkan Hamparan Buasliar Plain ini tempat menyenangkan. Sampah pasar berserakan, hewan ternak ikut mengisi ruang jalan, beragam aroma yang bercampuk aduk.

“Jangan berpikir kita sudah sampai, Dewi. Masih ada lima kilometer lagi,” kata Jayen.

“Apa!” pekikku terkejut, melipat tangan di dada, lalu menampakkan wajah cemberut.

Lihat selengkapnya