Pekan Lembah Rumput - 2013
Kesempatan itu masih ada, terbukti dengan berusaha kerja keras dan berdoa sepenuh hati bisa mewujudkannya. Satu tahun sudah berlalu, Zabur Farm sudah menghijau dengan indahnya. Sesuatu yang menyerupai keajaiban, tidak disangka peternakan ini bangun dari mati surinya begitu cepat dan air sungai mengalir deras memberinya napas baru untuk bangkit. Wajah lelahku mendapat guyuran dari pemuda yang menggenggam alat penyiram air. Aku memelotinya dengan mata kanan dan sibuk menggembala sapi-sapi perah miliknya yang bertubuh montok dan mengandung susu segar.
“Dewina!” panggil Jayen, menampilkan perubahan yang tidak bosan dipamerkannya. Bukan lagi sosok obesitas bertubuh seperti gentong air dan penakut sejak kembali ke desanya. “Kenapa kamu memandangku, kamu naksir?” katanya lagi, memamerkan otot kekar pada tubuhnya dan kulit legam terbakar matahari. “Dewina Argilma, kamu sangat menarik dengan pakaian pengembala itu.”
Aku memandangi pakaianku berupa kaos lengan pendek, terusan pengembala berbahan denim dan sepatu but. Rambutku sesekali dibentuk kuncir kembar atau kuncir kuda, tapi aku lebih suka yang pertama dan Jayen menganggapnya seperti badut tersesat di padang rumput. “Sekali lagi meledekku, aku akan mengikatmu pada sapi lalu menyeretmu pulang, memerah susu mereka di lumbung.”
Entah sudah berapa banyak sapi (termasuk domba yang juga ingin dipelihara Jayen) menjadi hewan-hewan dengan produksi yang melimpah (tentunya susu sapi dan bulu domba). Di awal belajar mengelolah tempat ini, aku dan Jayen melewati masa sulit penuh dengan tantangan. Dari mempelajari teori di buku-buku dan bimbingan Paman Musa yang tidak kuat lagi bekerja, tanpa kenal lelah hingga mencapai buah dari kesabaran yang kami tanam di tanah yang menjanjikan kebaikan. Paman Musa sangat bangga pada kami, hingga rasa lelahnya usai dengan menutup mata untuk selamanya.
Jayen lebih handal mengurusi unggas (entah mengapa dia juga tertarik memelihara ayam dan bebek setelah puas mengembala ternak besar) sehingga aku mengurusi semua sapi dan domba dari pagi merumput hingga sore kembali ke lumbung. Berkat ini juga, kami sepakat mempekerjakan para pengangguran desa (yang kebanyakan laki-laki pemalas dan sulit bangun pagi) yang selama ini suka curi-curi pandang sewaktu aku membawa ternak merumput. Menyadari bahwa aku mengetahui aksi mereka, kontan saja sapi-sapi mengejarnya. Mau tidak mau mereka ingin bekerja dengan kami (tentu saja dengan upah), meskipun demikian kami tetap selektif memilih siapa yang layak dipekerjakan atas dasar sikap yang mereka miliki, seperti disiplin dan jujur. Tidak hanya laki-laki, banyak perempuan desa membutuhkan pekerjaan, selanjutnya memberinya lahan untuk mencukur bulu domba.
“Ayah, Ibu, dan adik-adikmu, pasti sangat bangga dengan peternakan ini sekarang.”