Dewina's Burger

Rezki Kurniawan
Chapter #6

Burger 6 - Perhatian! Berisiko Serangan Jantung Koroner

Javana City - 2015

“Miss Dewina! Yuuhuu!"

Panggilan bernada menyenangkan itu mewujud dalam sosok gadis remaja yang akhir-akhir ini rutin mengunjungi Dewina’s Burger. Seluruh pekerja dan pengunjung menoleh heran pada gadis itu, tapi Melody Sophia tidak pernah kehilangan teriakan hebohnya. Aku mengintipnya dari balik jendela berupa lubang kecil di ruanganku, terlihat Melody menghampiri konter kasir, berpangku tangan dan menelengkan kepala. Aku tahu kalimat yang akan meluncur dari bibirnya sebentar lagi. Begitu siap aku ikut meniru ucapannya dengan semangat yang tidak kalah hebat dengan murid SMP ini.

“Burger untuk semuanya!” teriaknya, melompat ke sana kemari seperti anak kelinci.

Seluruh pengunjung bersorak, namun sebagian ada yang tidak mengerti. Adapun maksud dari ucapan gadis (yang merupakan anak keluarga kaya di Equatoria) itu tidak lain mentraktir pengunjung yang datang ke Dewina’s Burger. Kebahagian itu semakin membucah saat aku mengubah musik latar di restoran ini di sebuah pemutar cakram digital, langsung menebarkan atmosfir menyenangkan. Aku beranjak keluar menemui gadis itu, balas melihatku seperti sosok yang sangat dikaguminya. Melody berlari seperti bocah kecil, memelukku kencang, mungkin ini yang kelima puluh lima kalinya.

Kesimpulan selanjutnya, pengunjung melihatku dan menyebut namaku seperti anak panah yang melesat. Terutama anak kecil, atau mereka yang sangat mengidolakan sosok wanita berambut pink yang sangat imajinatif dan mengesankan. Mereka meninggalkan meja, menggunakan apa saja untuk bisa mendapatkan tanda tanganku, menyiapkan kamera dari ponsel. Seketika mereka laksana serbuan tawon yang lepas dari sarangnya. Kejadian seperti ini sudah aku antisipasi dengan menyewa keamanan, mereka menjadi tameng yang mengarahkan pengunjung agar tenang dan mengantri.

“Ini juga gara-gara kamu, jadi repot lagi,” kataku mengacak rambu Melody.

“Santai saja, Miss. Sekali-kali ketemu fans lho,” balas Melody dengan jahil.

Aku melayani kehadiran mereka sepenuh hati, memberikan tanda tangan, berfoto bareng (dari berbagai gaya dan pose sampai wajahku memperagakan beragam ekspresi) yang diakhiri dengan jabat tangan. Keamanan memberikan waktu yang cukup untuk semua orang, tampang keras dan tubuh besar yang membuat siapapun tidak berani melakukan hal-hal mencurigakan selama sesi bersua. Beruntung pertemuan itu tidak berlangsung lama, rupanya menjadi orang terkenal ternyata melelahkan.

“Aku mau seperti Miss Dewina. Cantik, baik, imut, rambutnya unik lagi!” seru Melody.

“Gak perlu meniru, Melody. Terlalu berat, biar aku saja,” balasku usil mencubit pipinya. Aku membawanya ke ruanganku (tidak seorang yang mudah kubiarkan masuk kemari). “Kamu tidak perlu bersusah payah agar bisa seperti orang lain. Jadilah diri sendiri, dan pada akhirnya kamu akan sadar bahwa sebenarnya kamu istimewa.” Aku memandang gadis itu yang kini duduk di sofa. Ada air mata dua tetes meluncur di pipi tirusnya yang tidak langsung disekanya. “Ada masalah lagi, sayang?” Aku merangkulnya, seakan telah menganggapnya seperti adik kandungku. Aku memeluknya erat.

“Ibu ...,” ucapnya terisak. “Ayah!” tangisnya semakin kencang. “Kak Demona, jahat!”

Lihat selengkapnya