Javana City - 2016
Dewina’s Mansion, rumah mewah bergaya high-end berlantai dua di Distrik Bukit Damai, kini menjadi kediamanku yang baru dan nyaman. Berendam di jacuzzi, di bawah atap langit malam dan panorama Javana City berhias lampu-lampu berkelap-kelip. Seperti ini rasanya kebahagiaan saat menjadi orang terkaya di Distrik Bukit Damai. Segelas jus alpukat, hanya ada kenikmatan. Sembari bangkit meraih piyama handuk dan mengenakannya, aku beranjak masuk ke rumah. Sesekali kakiku bermain di pinggiran kolam renang yang dingin (tetapi, aku tetap waspada, aku tidak bisa berenang). Tidak ada keinginan bersantai di sofa, mendengarkan lagu dari jukebox klasik atau menonton sesuatu di televisi LCD yang sepertinya masih menayangkan acara (sinetron remaja) membosankan.
Waktunya tidur cantik.
Kamar tidur ini berukuran sama dengan seluruh luas kamar apartemenku (mungkin saja luas kamar mandi di rumah ini sama dengan kamar tempat tidurku yang dulu). Aku menyisir rambut yang basah, tidak penting mengingat ukuran luas kali lebar kendati tidak ada tugas matematika untuk esok pagi. Aku mengganti piyama handuk ke piyama tidur, bersiap menuju alam mimpi. Sebelum mataku terpejam menuju lelap, beragam kenangan bermunculan di benakku secara beruntun. Tidak pernah menyangka aku bisa tidur di dalam sebuah rumah paling indah di Javana City. Mataku terpejam saat hatiku menyalurkan kata-kata penuh syukur menuju bibirku, ketika lampu kamar meredup.
Terima kasih, Tuhan. Terima kasih atas kebaikanmu.
“Sama-sama, Sayang.”
Mataku terbuka lebar, kaget bukan kepalang. Tidak mungkin suara itu. Aku terbangun dengan lampu kembali bercahaya. Di atas perut, sebuah benda terlupakan tiba-tiba muncul di sana. Tidak ada lagi kain hitam yang membungkusnya. Kotak kayu yang ada bersamaku sejak terdampar di Pantai Horizon Biru, kemudian terabaikan lalu ditemukan oleh Nisan di bekas kamar apartemenku. Sekali lagi kotak kayu itu tidak lagi tersentuh, waktu di mana perhatianku hanya tertuju pada perkembangan Dewina’s Burger (yang kini membuka cabang di ibukota Nusantara) dan melunasi utang Jayen.
Aku tidak menyangka dia berurusan dengan korporasi asing yang gencar menancapkan taring perekonomianya yang sangat berbisa di Equatoria. Jayen terancam diusir jika tidak memiliki harta untuk melunasi semua utangnya yang menggunung. Sehingga aku turun tangan menyelamatkan Zabur Farm yang sudah aku anggap sebagai rumah sendiri. Jayen sepakat aku membeli seluruh properti dan aset peternakannya, dan tetap membiarkannya tinggal di sana. Menurut Jayen, kesan terima kasih saja belum cukup. Jayen menyalurkan 25% hasil ternak dan kebun untuk Dewina’s Burger setiap bulan. Aku menyetujui balas budinya selama tidak memberatkan dan tidak lagi muncul di depanku.
Perhatianku teralih pada kotak kayu yang begitu sulit mencuri perhatianku. Tampaknya, kali ini dia benar-benar menarik seluruh tatapanku padanya, daya tarik tidak kasat mata yang membuat tanganku terulur ingin menyentuhnya. Aku beranjak duduk, menekuri pahatan yang baru aku sadari terpampang di badan kotak dalam kerumitan tingkat tinggi, menyimpan energi tersembunyi.
Bisikan timbul menyerbu benakku, kemudian terbagi dua. Satu bisikan berkata, “Jangan buka, kamu akan menyesal,” sedangkan bisikan yang lain berkata, “Buka, karena ini adalah takdirmu.” Aku menyampirkan kotak kayu itu ke samping, bisikan itu semakin berupaya menakutiku. Aku menolak, menggeleng, tidak tahu harus bagaimana. Suara itu menyerupai suaraku, feminim campuran maskulin, membuatnya terdengar seperti androgini dari dunia lain. “Kotak Pandora telah memilihmu!”
“Pandora! Siapapun kamu, biarkan aku tidur!” teriakku yang tanpa berpikir panjang meraih kotak kayu tersebut dan melemparnya. Namun, benda itu seakan memiliki kekuatan magnetis yang membuat tanganku ditariknya, ikut terlempar dari tempat tidur, tapi ... tidak ... tidak ... tidak!