"Bye, Nya!" Alex melambaikan tangan sebelum berbelok di jalan depan. Sementara Anya masih terus melaju hingga beberapa gang lagi.
Anya dan Alex memang tinggal di perumahan yang sama tapi berbeda posisi. Rumah Alex berada di depan dekat jalan masuk, sedangkan rumah Anya masuk lebih dalam lagi.
Anya menghentikan sepeda di depan sebuah rumah minimalis dengan pagar kayu. Beberapa pot tanaman menghiasi taman kecil di samping kanan pagar.
Setelah memastikan sepedanya terkunci dengan benar, Anya membuka pintu rumah dan masuk ke dalam.
“Anya pulang!”
Ia tahu tidak ada siapa-siapa yang akan menyambutnya sepulang sekolah. Rumah itu kosong. Tanda-tanda kehidupan hanya terlihat di pagi dan malam hari. Pemandangan yang membuat ia mulai terbiasa dengan kesendirian selama hampir lima tahun terakhir.
Sebenarnya Anya tak suka dengan kesendirian ini, karena itu ia sengaja pulang ketika hari mulai gelap. Ia sengaja mengikuti banyak kegiatan di sekolah supaya tidak melalui kesendirian ini lebih lama.
Anya bergegas berganti baju dan membersihkan setiap sudut rumah. Setelah itu ia memetik beberapa sayuran di halaman belakang untuk makan malam. Berbekal bahan yang ada di lemari es, dengan cekatan gadis itu menyiapkan masakan sederhana untuk dua orang, kemudian mandi.
Sekarang Anya berada di depan cermin. Menyisir rambut dengan kedua tangan. Manik coklatnya menatap bayangan di cermin. Wajah oval dengan rambut pendek sebatas telinga tanpa anting dan bibir mungil tanpa polesan. Ada beberapa bercak coklat di pipi bekas jerawat yang mengering saat masa puber SMP. Bentuk tubuh biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari dirinya.
“Apa sih yang dilihat orang itu? Mungkin bukan kepalanya aja yang bermasalah, tapi matanya juga!” Ia membalikkan tubuh dari cermin dan mengempaskannya ke tempat tidur. Langit-langit kamar sekarang menjadi pusat konsentrasinya.
Anya menyadari ada perubahan sikap dari Alex sejak beberapa bulan terakhir ini. Semenjak mereka duduk di kelas 3 dan berbeda kelas, perhatian Alex padanya berubah drastis. Sahabat sekaligus tetangga itu semakin sering menggodanya. Memberi perhatian berlebih dari yang biasa dilakukannya selama kebersamaan mereka.
Sudah empat kali Alex menyatakan perasaannya. Awalnya Alex mengatakannya ketika mereka sedang bercanda. “Lama-lama aku jadi suka sama kamu lho, Nya.”
Anya hanya tertawa menanggapinya. “Ya kalau nggak suka, nggak mungkin kan kita bisa berteman sampai sekarang,” jawabnya santai. Waktu itu ia tak pernah berpikir bahwa Alex sungguh-sugguh.
Tak berhenti sampai di situ. Alex terang-terangan mengatakan pada teman-teman di sekolah tentang perasaannya saat mereka sedang di kantin.
“Gue suka sama Anya. Jadi yang berniat pe-de-ka-te sama Anya, minggir!” Tanpa segan, lengan Alex melingkar di bahu Anya, yang tentu saja segera ditepis.