Suasana lapangan yang riuh menandakan berakhirnya kegiatan ekskul sepak bola sore itu. Beberapa anak saling tos dan berpamitan. Dari tepi lapangan tampak seseorang terburu-buru menyambar tas ranselnya. Sosok itu berlari menuju lorong yang menghubungkan lapangan bola dan gedung kelas. Ia hanya melambaikan tangan pada seruan yang ditujukan padanya.
Kecepatan lari pemuda itu melambat ketika sayup-sayup terdengar suara yang dikenalnya. Ia berhenti di depan ruang kelas yang pintunya sedikit terbuka lalu mengintip melalui jendela kecil di pintu. Seulas senyum tipis mengembang di wajahnya yang masih berkeringat.
Sosok yang ia amati sedang memberi hormat pada rekannya menandakan bahwa latihan taekwondo hari itu telah usai. Setelah mengambil tasnya, gadis yang masih memakai Dobok itu bergegas menuju pintu dan membukanya. Lelaki yang sedari tadi mengamati dari balik pintu menyingkir sebelum daun pintu itu mengenai kepalanya.
“Astaga! Tuh anak apa nggak lihat ada orang di depan pintu?” gumam Alex menggelengkan kepalanya. Ia melihat Anya yang berjalan lurus tanpa menoleh. Sepertinya gadis itu tidak menyadari ada seseorang yang sedang menunggunya.
Alex menggeser sedikit posisinya ketika beberapa anak lain keluar dari ruangan sambil berceloteh. Dari percakapan yang terdengar, sepertinya Anya telah menghajar rekan latihannya tanpa ampun. Selama latihan, gadis itu tampak melampiaskan emosinya sampai Sabeum harus menegurnya berkali-kali.
“Parah banget sih Anya, kayak orang gila!”
“Bukan gila lagi, tapi kesetanan!”
“Kalau nggak ditegur, bakal habis itu!”
Kalimat-kalimat senada itu terus dilontarkan hingga tak terdengar lagi oleh Alex yang segera mengejar Anya. Ia menemukan gadis itu sudah siap menaiki sepedanya.
“Oh, kamu masih di sini?” tanya Anya lesu.
“Aku nungguin kamu di sana, kamunya yang nggak sadar,” jawab Alex. Ia lalu mengeluarkan sepeda miliknya. Anya masih mematung di tempatnya berdiri.
“Ayo pulang!” ajak Alex sambil menaiki sepeda.
Anya masih bergeming. Wajah gadis itu tampak datar tapi Alex melihat ada keraguan yang menyelimutinya.
“Kita jalan aja ya,” pinta Anya kemudian.
Alex menimbang sejenak karena hari sudah sore. Berjalan kaki menuju rumah membutuhkan waktu dua kali lebih lama daripada bersepeda. Sedangkan Alex tahu, Anya masih harus melakukan pekerjaan lain setelah sampai di rumah. Pada akhirnya ia memutuskan untuk menuruti permintaan sahabat sekaligus pujaan hatinya itu.
“Oke, tapi sampai kamu tenang aja ya.” Alex memberikan syarat.