“Nya, tunggu dulu!” Alex mengerem sepeda tepat di depan rumahnya. Anya berhenti di depannya lalu menoleh ke belakang.
“Ini udah terlambat. Kamu nggak bakal sempat siapin makan malam. Tunggu sebentar!” Alex memasuki rumah dengan cepat, sementara Anya menunggu di depan.
Di dalam rumah, Alex bergegas mengambil sebuah wadah plastik dari lemari dapur lalu menuju meja makan.
“Kamu ngapain?” tanya Lukas, papa Alex yang sedang membaca buku di ruang tamu. Melihat putranya tidak menjawab melainkan sibuk menyendok makanan dari piring ke wadah, ia menghampirinya.
“Buat siapa itu?”
“Eh, Papa udah di rumah toh,” sahut Alex baru menyadari bahwa Lukas sudah ada di rumah. Sekilas ia melihat jam kecil di atas lemari es. Angka digital yang tertera menunjukan pukul enam lewat sepuluh. Itu artinya Lukas berada di rumah sejak setengah jam yang lalu.
“Kamu berencana makan di luar?” Lukas bertanya lagi. Ia melihat sebuah wadah tertutup penuh dengan lauk yang diisi Alex tadi. Sekarang anak satu-satunya itu sedang mengisi wadah kedua dengan beberapa sendok besar sayur.
“Buat Anya,” jawab Alex sambil terus memenuhi isi wadah. “Kami terlambat pulang. Dan udah terlalu malam kalau Anya harus memasak dulu sebelum makan malam.”
Lukas hanya mengangguk.
“Eh, Papa udah makan?” Tiba-tiba Alex bertanya.
“Udah kok. Bawa aja semua. Mama juga pasti udah makan di sana,” jawab Lukas.
“Kedai masih ramai ya?” Sekarang Alex memasukkan kedua wadah itu dalam tas kain yang diambilnya dari lemari.
“Lumayan. Tapi tadi Mama sempat pulang kok bawa makanan ini. Habis itu balik lagi,” jelas Lukas.
Istri Lukas, Irene, mempunyai usaha keluarga berupa kedai di sebuah pujasera yang buka dari siang hingga malam. Sebagian besar waktu Irene dihabiskan di kedai bersama sepupu dan pegawainya. Tiap sore ia akan pulang untuk mandi dan membawa makan malam dari kedai lalu kembali lagi. Irene baru pulang ke rumah saat hampir tengah malam.
Lukas sendiri bekerja di sebuah perusahaan di bidang listrik setelah setahun menganggur karena perampingan karyawan di tempat kerja sebelumnya. Bukan salahnya ia menganggur begitu lama, karena saat itu perekonomian sedang lesu. Sementara ia menganggur, kebutuhan keluarga ditopang dari hasil kedai Irene. Mau tak mau, ia harus melakukan tugas rumah tangga sementara Irene sibuk di kedai. Bukan hal yang mudah bagi Lukas karena ia berasal dari keluarga yang masih menganggap tabu pekerjaan perempuan dilakukan oleh laki-laki. Pada masa-masa itu ia sering bertengkar dengan Irene karena masih mementingkan egonya.
Lukas juga sempat berseteru dengan ibunya karena masalah ini. Namun, Lukas berhasil menunjukkan bahwa tidak ada salahnya laki-laki melakukan tugas membersihkan rumah atau mencuci piring. Ia menyadari jika keras kepala dan meninggikan gengsi tak ada gunanya. Sekarang setelah ia berhasil bekerja di kantor lagi, pekerjaan rumah itu tetap ia lakukan dengan senang hati.
“Udah segitu?” tanya Lukas melihat tas yang dibawa Alex.
“Cukup kok,” jawab Alex.
Pasangan ayah dan anak itu berjalan keluar ke tempat Anya menunggu.
“Lho, Anya?” Lukas tampak terkejut melihat seorang gadis menunggu di depan pagar rumahnya.
“Malam, Om,” sapa Anya sopan.
Lukas membalas dengan senyuman, lalu pandangannya beralih pada Alex yang sepertinya sadar telah melakukan kesalahan. “Kok Anya nggak disuruh masuk aja sih, Lex? Anak gadis orang kamu suruh tunggu di depan malam-malam begini?”
“Ah, nggak apa-apa, Om, nggak lama kok,” ujar Anya sebelum Alex sempat membela diri. “Dia memang suka begitu.” Anya menambahkan sambil bercanda.
Alex melihat tatapan Lukas yang ditujukan padanya sebelum menjawab, “Iya, iya, sori ... lupa tadi.”